Sumber gambar : http://paul-server.hum.aau.dk


Adhe Nuansa Wibisono, S.IP
Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI
Jakarta, Rabu 24 Desember 2013
Sumber Utama : Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007)
Norma dan Kekuasaan
Kampanye perang global melawan teror yang dilancarkan Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11 bisa membentuk kembali pemahaman kita tentang konsep kedaulatan suatu negara. Bisa jadi memang hal inilah yang diinginkan oleh pemerintahan Bush. National Security Council – National Strategy for Combating Terrorism, bertujuan untuk menindak negara-negara yang mendukung organisasi teroris, yang memberikan kewajiban kepada negara-negara berdaulat untuk mencegah wilayah mereka untuk digunakan oleh kelompok teroris. Dengan ini menandakan bahwa Amerka Serikat harus memenangkan “perang gagasan” untuk mengalahkan terorisme, seperti yang terlihat dalam statement George W. Bush berikut ini, “dengan dukungan para teman dan sekutu, kami bertujuan untuk membangun norma internasional baru mengenai terorisme yang membutuhkan  peniadaan dukungan, peniadaan toleransi dan perlawanan aktif terhadap teroris”.[1]
Alat-alat yang berbeda digunakan untuk mempengaruhi aktor-aktor yang berbeda. Terutama ketika negara adidaya berusaha untuk mempromosikan norma-norma baru, mereka berusaha untuk memaksa yang lemah, strategi persuasi digunakan untuk negara-negara yang kuat. Interaksi dari kedua faktor ini, sikap pendirian dari negara target dalam komunitas internasional dari negara dan kekuasaan relatif terhadap negara adidaya menjelaskan penggunaan kekuatan oleh negara adidaya untuk mempromosikan norma. Ketika kekuatan digunakan sebagai bagian dari strategi perubahan norma target cenderung akan melemah. Kapan negara adidaya memilih untuk menggunakan kekuatan untuk mempromosikan tujuan normatif mereka? Merujuk pada pendapat Martha Finnemore (1996:22) , norma didefinisikan di sini sebagai “ekspektasi bersama akan perilaku yang diharapkan oleh komunitas para aktor”.[2]

Para realis umumnya setuju bahwa sistem mempertahankan panduan untuk interaksi antar negara seperti hak-hak negara berdaulat akan otonomi teritorial dan prinsip non intervensi dan bahwa negara akan mensosialisasikan sistem sebagai sarana unuk bertahan hidup (Waltz 1979 : 127-128). Para pendukung Mazhab Inggris dan sarjana konstruktivis menyatakan bahwa negara-negara dapat berkembang dimana terdapat nilai-nilai dan keyakinan bersama yang lebih dalam dan dengan demikian keikutsertaan kepada aturan yang ada di masyarakat didasarkan (Bull 1977, Wendt 1999, Jackson 2000).[3]
Negara adidaya telah memimpin dalam mengadvokasi perubahan norma untuk alasan instrumental dan di luar dari keyakinan moral. Amerika Serikat ingin memberantas dukungan negara untuk organisasi teroris untuk menghilangkan ancaman keamanan nasional, tetapi  upaya tersebut juga diorong oleh imoralitas serangan terhadap warga sipil tak bersalah, setidaknya Amerika Serikat berusaha untuk menggunakan argumen moral untuk mencapai tujuan instrumentalnya.[4] Terkadang negara adidaya menggunakan kekuatan untuk memaksakan norma-norma baru. Bagi kelompok realis, ini bukan merupakan masalah berarti, kekuasaan dan penggunaan kekuatan merupakan faktor sentral dalam hubungan internasional. Realis berpendapat bahwa negara-negara adidaya dapat menerapkan aturan yang mereka pilih dan memaksakan norma tersebut dikarenakan kekuatan yang mereka miliki. Norma dianggap berfungsi ketika mereka mendukung tujuan instrumental negara-negara adidaya (Mearsheimer 1994-1995).[5]
Negara dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori diantaranya adalah : insider state, kategori pertama, adalah negara-negara yang diakui sebagai anggota dari sistem atau masyarakat internasional, dengan semua hak yang diberikan kepada status negara berdaulat. Negara-negara “dalam” dimaksudkan mereka yang memiliki kedaulatan hukum internasional dan diakui sebagai anggota yang sederajat dari masyarakat internasional (Krasner 1999 : 14-20).[6] Asumsi yang melihat negara sebagai bagian dari masyarakat internasional menyiratkan kesamaan tertentu, seperti norma, nilai dan pandangan bersama (Bull 1977). Salah satu norma yang utama adalah mengenai kedaulatan. Masyarakat internasional  dari negara-negara berkembang secara paralel melakukan konsolidasi dengan sistem Westphalian negara-negara Eropa, anggotanya adalah negara-negara berdaulat. Seperti yang dicatat oleh Stephen Krasner (1999) yang mengatakan bahwa, kedaulatan Westphalia adalah aturan “konstitutif” dari masyarakat. Sebagaimana masyarakat berkembang, anggota baru diharapkan untuk memenuhi standar tertentu untuk memenuhi syarat keanggotaan.[7]
Kategori kedua, outsider state, adalah mereka yang tidak dilihat sebagai anggota penuh dari masyarakat internasional. Mereka tidak dianggap sebagai negara “beradab” menurut standar masyarakat internasional, negara yang tidak dianggap sederajat di wilayah pinggiran dari sistem yang ada atau juga tidak diakui sebagai entitas yang berdaulat. Negara-negara ini tidak diberikan hak dan keistimewaan akan kedaulatan. Sebagai contoh meskipun negara-negara Eropa berinteraksi dengan Kekaisaran Ottoman selama berabad-abad, mereka tidak menganggapnya sebagai bagian yang sama dari komunitas negara-negara yang telah berkembang pada abad kesembilan belas (Bull 1977 : 13-14, Gong 1984 : 106-119, Simpson 2004). China juga pernah tidak dianggap sebagai negara “beradab” pada abad kesembilan belas, hal demikian terjadi dikarenakan China tidak diterima sebagai bagian dari masyarakat internasional yang didominasi Eropa sampai China merevisi sistem hukum dan diplomatiknya untuk menyesuaikan diri dengan standar Barat (Gong 1984).
Negara dalam kategori ketiga adalah negara dengan status yang diperebutkan yang berimplikasi kepada kedaulatan yang diperebutkan. Ini adalah negara atau teritori yang statusnya dalam sistem internasional masih ambigu atau menjadi subyek yang diperdebatkan oleh anggota dari dalam sistem. Beberapa faktor baik material maupun ideasional, dapat memotivasi tantangan kepada posisi sikap negara ini. Salah satunya adalah kepentingan dalam perluasan pengaruh, negara lain dalam sistem dapat menguji kedaulatan negara ini dikarenakan ia ingin mengambil atau menaklukkan teritori negara ini. Kemudian, negara ini dapat menjadi obyek persaingan diantara beberapa negara adidaya yang berusaha untuk mengendalikan teritorinya. Kekuatan-kekuatan besar Eropa berusaha untuk mencegah satu sama lain dari mendapatkan kekuasaan atas wilayah Kekaisaran Ottoman, kemudiam Inggris dan Perancis keduanya ingin menguasai Siam di akhir abad kesembilan belas , akhirnya mereka membiarkan Siam untuk tetap independen untuk menghindari terciptanya gesekan yang lebih besar di antara mereka (Strang 1996 : 38-42).[8]
Sebagai akibatnya, setelah tahun 1945, peta politik menjadi semakin rumit dengan perluasan dari sistem negara internasional dan keberhasilan negara berkembang dalam pergeseran wacana internasional yang berkaitan dengan isu-isu penting seperti kolonialisme (Spruyt 2000, Crawford 2002). Struktur dan aturan kelembagaan internasional yang ada terus mendukung kekuasaan yang mendirikan mereka, yaitu Amerika Serikat dan negara adidaya lainnya. Masyarakat internasional saat ini masih didominasi oleh nilai-nilai “Barat” (Puchala 2005) sebagaimana pemahaman Barat akan atribut yang diperlukan bahwa keanggotaan entitas politik sebagai negara berdaulat dalam sistem internasional. Tetapi berbagai pendapat dalam sistem internasional telah menjadi semakin beragam sejak tahun 1945. Meskipun kekuatan besar tetap saja lebih mampu untuk mempengaruhi wacana dan menentukan aturan, pandangan mereka tidak dapat tertandingi. Khususnya meskipun banyak dari negara-negara telah mendapatkan akses untuk masuk ke dalam masyarakat internasional sejak Perang Dunia II tetap memberikan kritik terhadao prevalensi nilai-nilai dan kekuasaan Barat, mereka secara tegas mendukung norma “Barat” akan kedaulatan sebagai fondasi masyarakat internasional dan khususnya desakan pada prinsip-prinsip non-intervensi (Acharya 2004).[9]
Analisa dan Kesimpulan
 Pandangan politik negara-negara bangsa pada abad keduapuluh dan keduapuluh satu ini banyak didominasi oleh norma dan nilai yang berasal dari filosofi politik Barat. Konsep negara bangsa (nation state) adalah konsep yang berasal dari sistem Westphalian yang menjadi landasan bagi negara-negara Eropa untuk membangun sistem politik internasional diantara mereka. Dominasi cara pandang Barat ini terhadap sistem politik internasional bisa dilihat sebagai relasi dari norma dan kekuasaan antara negara-negara Barat dengan negara-negara lainnya. Relasi yang bisa kita sebut sebagai kolonialisme, Barat sejak abad ke 14 hingga abad ke 20 menjadi dominasi penguasa dunia dikarenakan melakukan proses kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Penjajahan secara fisik yang dilakukan kepada bangsa-bangsa di Asia, Afrika, Timur Tengah tentu saja akan disertai dengan proses pemindahan norma, nilai, dan sistem kepercayaan.
Pada abad ke 20 terjadi resistensi besar-besaran yang dilakukan bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk melawan dan membebaskan diri dari kolonialisme Barat. Bangsa-bangsa di seluruh dunia, Asia, Afrika, Mediterania, Timur Tengah secara simultan mendeklarasikan kemerdekaan dan membentuk negara bangsa yang berdaulat. Pertanyaannya adalah konsep negara bangsa sendiri adalah konsep yang pada walanya dikembangkan oleh negara-negara Eropa, tentu saja negara-negara yang lain akan menjadikan norma-norma yang digunakan Eropa untuk membangun konsepsi politik negara bangsa sebagai acuan dan preferensi. Dalam hal ini kita bisa melihat bagaimana “norma” yang akhirnya dipakai oleh komunitas internasional adalah norma yang dominan, yang didukung oleh struktur kekuasaan berpengaruh yang kita sebut sebagai “Barat” itu.  Sehingga keterkaitan antara norma dan kekuasaan menjadi sangat erat dimana norma yang akan digunakan oleh negara-negara dalam komunitas internasional pada akhirnya akan mengikuti norma mainstream dan dominan dari struktur kekuasaan yang ada.
Referensi
Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007)



[1] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 53
[2] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 54-55
[3] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 55
[4] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 56
[5] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 56
[6] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 57
[7] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 57
[8] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 58
[9] Renee de Nevers, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement, International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007), hal 59

Pin It on Pinterest

Shares
Share This