Sumber : http://www.coroflot.com/yashmisra/other

Adhe Nuansa Wibisono, S.IP
Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI
Jakarta, Selasa 3 Desember 2013
Sumber Utama : Darcy M.E. Noricks, “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs”, dalam Paul K. Davis, Kim Cragin, Ed, “Social Science for Counterterrorism”, (Santa Monica : RAND Corporation, 2009)
Tahapan Disengagement
Dalam artikel “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs”, Darcy M.E. Noricks menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan deradikalisasi, faktor-faktor apa yang menyebabkan deradikalisasi dan bagaimana proses deradikalisasi itu dilakukan. Deradikalisasi dapat dipahami baik secara ideologis atau perilaku, Omar Ashour (2008a) dalam tulisannya mendefinisikan konsep deradikalisasi sebagai proses yang mengarahkan individu atau kelompok untuk mengubah perilakunya terkait aksi kekerasan – khususnya mengenai kekerasan terhadap warga sipil. Hasil dari deradikalisasi ideologis dapat dilihat dari perubahan cara pandang individu, sedangkan deradikalisasi perilaku menekankan perubahan dalam aspek tindakan individu.[1]
Ashour (2008a) juga menjelaskan deradikalisasi organisasional yang menjadi fenomena tingkat kelompok, dan jika proses deradikalisasi berhasil maka akan berdampak menjauhkan seluruh anggota kelompok dari tindakan terorisme – idealnya strategi ini akan berhasil jika kelompok utama tidak menghasilkan kelompok sempalan yang lebih radikal. Sebagai contoh dari deradikalisasi organisasional adalah kelompok yang pernah dikategorikan sebagai kelompok teroris (Palestine Liberation Organization dan South Africa – Africa National Congress) dan kelompok milisi (Kelompok Amal di Lebanon).[2]Di sisi lain Renee Garfinkel (2007) berpendapat bahwa deradikalisasi memiliki kesamaan dengan pengalaman spiritual, serupa dengan konversi agama, seperti yang terjadi dalam proses radikalisasi. Sebaliknya dalam pengalaman radikalisasi, individu yang mengalami deradikalisasi tidak mengadopsi ideologi baru sebagai fungsi dari partisipasi mereka dalam kelompok yang mendukung.[3]

Keputusan untuk melakukan deradikalisasi biasanya merupakan keputusan individual, yang kemudian individu tersebut terisolasi dari kelompok sosialnya. Hubungan dengan tokoh panutan (rolemodel) dilihat sebagai hal yang penting dalam menjauhkan individu dari cara pandang yang radikal. Satu kesamaan proses deradikalisasi dengan proses radikalisasi adalah pengalaman traumatik sang individu sebelum mengambil keputusan untuk melakukan disengagement. Trauma bertindak sebagai peristiwa yang memicu transformasi keyakinan individu.[4] Tore Bjorgo (2006) membedakan antara faktor penarik dan faktor pendorong yang mempengaruhi keputusan individu untuk meninggalkan kelompok radikal. Faktor pendorong merupakan elemen yang negatif atau kekuatan sosial yang membuatnya tidak menarik untuk melanjutkan keanggotaan di organisasi tertentu. Faktor-faktor ini juga termasuk tuntutan pidana, penolakan dari keluarga atau masyarakat atau tindakan kekerasan dari kelompok-kelompok oposisi.

Faktor penarik adalah kekuatan peluang atau daya tarik sosial yang membuat individu mencari alternatif kehidupan lain yang lebih menjanjikan. Hal ini termasuk “keinginan individu untuk hidup secara bebas dalam kehidupan yang normal”, pekerjaan baru atau peluang pendidikan yang bisa terganggu jika keanggotaan individu dalam kelompok terorisme diketahui publik, atau keinginan untuk membentuk keluarga dan mengambil peranan dan tanggung jawab sebagai orangtua dan pasangan hidup – sebagai salah satu motif terkuat untuk meninggalkan kelompok militan (Bjorgo, 2006, hal 11-12).[5] Bjorgo kemudian menekankan bahwa pengaruh dari faktor pendorong akan sulit untuk menjadi faktor penentu di awal. Sanksi negatif dapat menyebabkan anggota yang lebih baru untuk meninggalkan kelompok, tetapi beberapa sanksi tertentu juga dapa meningkatkan solidaritas anggota dalam kelompok yang menghadapi ancaman pihak luar. Faktor terakhir ini akan beresiko jika sanksi negatif tidak cocok dengan insentif positif yang ada.
Salah satu alasan paling umum untuk tetap bertahan di dalam kelompok adalah ketika individu tidak memiliki tempat lainnya untuk pergi, dikarenakan hubungan atau relasi yang dimiliki sebelumnya telah dilepaskan ketika bergabung dengan kelompok dan menjadikan relasi dalam kelompok sebagai sesuatu yang paling penting. Sang pengkhianat akan “beresiko untuk berakhir di ruang hampa sosial”, terisolasi, sendirian dan kesepian (Bjorgo, 2006, hal 14).[6]Di sisi lain, alasan paling umum untuk meninggalkan kelompok adalah pengalaman pribadi terkena tindakan kekerasan oleh anggota kelompok lainnya. Menurut Bjorgo, hal ini juga merupakan alasan umum untuk meninggalkan kelompok sayap kanan. Decker dan van Wickle menjelaskan bahwa waktu sesaat setelah terjadi konfrontasi kekerasan antara kelompok adalah saat yang paling tepat untuk melakukan intervensi – tetapi intervensi ini harus dilakukan sebelum kelompok dapat membingkai ulang konfrontasi kekerasan sebagai sesuatu yang meningkatkan solidaritas (hal 270). Pengalaman ini mungkin serupa dengan dengan konsep “trauma” yang didapatkan melalui proses wawancara yang dilakukan oleh Garfinkel.[7]
Pentingnya solidaritas dan komposisi organisasional yang khusus dari kelompok yang disarankan oleh Klein diangkat oleh Abuza dalam diskusi mengenai Jemaah Islamiyah (JI). Abuza mencatat bahwa kelompok ini adalah kelompok dengan tingkat keterkaitan dan kesolidan yang sangat tinggi dengan persahabatan dan ikatan kekerabatan yang diperkuat melalui jalinan pernikahan yang strategis. Ia menyatakan bahwa “tingkat keterkaitan yang tinggi antar anggota kemungkinan dapat mempengaruhi tingkat dan proses rehabilitasi”, dan ia mencatat bahwa ikatan soliditas antar anggota JI tetap erat bahkan setelah kehilangan pemimpin mereka dan perubahan struktur organisasi menyusul serangkaian penangkapan besar-besaran terhadap anggotanya.[8]
Program Deradikalisasi
Program deradikalisasi pemerintah Arab Saudi, dimulai pada tahun 2004, didasarkan pada program konseling yang mencakup partisipasi tahanan dalam diskusi keagamaan, serta partisipasi melalui konseling psikologis. Tujuan dari program ini adalah agar individu “bertaubat dan meninggalkan ideologi terorisme” (Boucek, 2007a). Program pelatihan selama enam pekan termasuk diskusi mengenai loyalitas, kesetiaan dan bahkan prinsip keagamaan yang dianut oleh para tahanan. Dialog keagamaan berfokus pada gagasan bahwa tahanan secara keliru memahami interpretasi yang keliru tentang ajaran Islam, dan kemudian secara bersama-sama mencari interpretasi keagamaan yang lebih kontekstual dan moderat. Proses ini difasilitasi baik oleh partisipasi dari mantan militan yang sekarang tergabung di Komite Penasehat dan oleh otoritas keagamaan negara Arab Saudi (Boucek, 2007a).[9] 
Selain dialog keagamaan, Subkomite Sosial dan Psikologis Arab Saudi juga mengevaluasi status sosial para tahanan, masalah-masalah psikologis dan jenis bantuan sosial untuk para tahanan dan keluarganya yang akan dibutuhkan selama masa penahanan. Keluarga para tahanan diberikan bantuan pendidikan, perawatan kesehatan, bantuan keuangan untuk mengimbangi hilangnya pendapatan selama masa penahanan. Setelah dibebaskan, program pendampingan pekerjaan dan tunjangan pemerintah untuk mobil dan apartemen diberikan kepada mereka yang berhasil menyelesaikan program dan “berubah” menjadi moderat. Para tahanan yang belum menikah didorong untuk menikah, berkeluarga dan memiliki anak. Akhirnya, program deradikalisasi Arab Saudi ini memberi penegasan dan penjelasam kepada jaringan keluarga sang tahanan bahwa mereka juga ikut bertanggung jawab atas perilakunya setelah dibebaskan (Boucek, 2007a).[10]
Dalam kasus di Singapura, penemuan sel Jemaah Islamiyah pada tahun 2003 mengakibatkan pembentukan Religious Rehabilitation Group (RRG) yang pada awalnya difokuskan pada individu yang ditahan karena kasus terorisme. RRG kemudian diperluas perannya juga meliputi anggota keluarga tahanan atas dasar sukarela dan kemudian pembinaan komunitas muslim secara lebih luas. Ulama muslim setempat menolong RRG untuk mendiskusikan misinterpretasi Jemaah Islamiyah terhadap ajaran Islam, kemudian menerbitkan dan mendistribusikan tulisan-tulisan yang lebih moderat mengenai agama Islam (sebagai contoh “Unlicensed to Kill : Countering Imam Samudra’s Justification for the Bali Bombing [Hassan, 2006]”), dan memberikan pendidikan tentang Islam moderat baik kepada para tahanan dan masyarakat yang lebih luas. Selain itu sejumlah kelompok muslim setempat memberikan dukungan keuangan dan psikologis kepada keluarga yang ditahan, dengan berbagai program seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Data yang ada menyebutkan bahwa 19 orang dari 51 orang tahanan telah dibebaskan setelah rata-rata mendapatkan tiga tahun masa penahanan diantara tahun 2001 sampai akhir tahun 2007.[11]
International Crisis Group (2007) menyatakan bahwa isu deradikalisasi di Indonesia memiliki kaitan yang erat dengan isu reformasi penjara. Ini bukan hanya dikarenakan kasus korupsi dalam sistem penjara yang memperkuat pandangan akan pemerintahan yang tidak islami, tetapi juga karena solidaritas jihad diperkuat oleh kebutuhan untuk bersatu dalam rangka perlindungan melawan geng penjara yang berbahaya. Program deradikalisasi yang ada cukup serupa dengan yang ada di Arab Saudi dan Singapura, menekankan keterlibatan mantan militan Jemaah Islamiyah, yang telah meninggalkan tindakan radikalisme. Selain komponen ideologis, program Indonesia juga menekankan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga para tahanan. ICG mencatat terdapat sekitar dua puluh orang mantan anggota JI dan beberapa organisasi jihad lainnya telah bersepakat untuk bekerjasama dengan kepolisian Indonesia dalam proses deradikalisasi.[12]
Analisa dan Kesimpulan
 Proses disengagementdan deradikalisasi merupakan salah satu metode dalam penanganan kasus terorisme dimana rehabilitasi dan reintegrasi kepada masyarakat luas seorang pelaku terorisme menjadi tujuan utamanya. Proses ini menjadi sarana penting dalam model penegakan hukum (law enforcement model) dalam penanganan terorisme. Pelaku terorisme dalam pendekatan ini dilihat sebagai manusia secara seutuhnya, sehingga proses penegakan hukum, penahanan, pembinaan yang tercakup dalam disengagementdan deradikalisasi diharapkan dapat kembali menjadikan seorang pelaku terorisme untuk meninggalkan ideologi radikal dan kembali memiliki kehidupan normal di masyarakat. Deradikalisasi dilakukan agar individu pelaku terorisme dapat mengubah cara pandang dan tindakan radikalnya menjadi lebih moderat dan tidak radikal.
Selain berfokus kepada pelaku terorisme, program deradikalisasi juga ditujukan kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Hal ini dilakukan agar proses deteksi dini dan pencegahan ideologi radikalisme dapat dilakukan secara lebih efektif. Selain itu pula aspek sosial-ekonomi juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, mengingat dengan ditahannya pelaku terorisme di dalam penjara, maka praktis pendapatan keluarga pelaku juga akan terkendala, sehingga pemerintah memberikan program bantuan pendanaan kepada keluarga pelaku, termasuk juga pendidikan untuk anak dan keluarga pelaku. Setelah pelaku terorisme dibebaskan dilakukan juga pendampingan pekerjaan untuk pelaku agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kebijakan yang bersifat soft diplomacy ini diharapkan dapat memutus mata rantai kekerasan dan radikalisme yang berpotensi untuk tumbuh di lingkar inti pelaku terorisme, yaitu keluarga serta kerabat, kemudian juga diharapkan program deradikalisasi ini dapat menjadi penyeimbang bagi pendekatan operasi militer yang seringkali memicu kebencian dari lingkar inti komunitas kelompok radikal kepada pemerintah dan aparat keamanan.
Referensi

Darcy M.E. Noricks, “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs”, dalam Paul K. Davis, Kim Cragin, Ed, “Social Science for Counterterrorism”, (Santa Monica : RAND Corporation, 2009)




[1] Darcy M.E. Noricks, “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs”, dalam Paul K. Davis, Kim Cragin, Ed, “Social Science for Counterterrorism”, (Santa Monica : RAND Corporation, 2009), hal 300
[2] Ibid, hal 300
[3] Ibid, hal 301
[4] Ibid, hal 301
[5] Ibid, hal 302
[6] Ibid, hal 302
[7] Ibid, hal 304
[8] Ibid, hal 304-305
[9] Ibid, hal 307
[10] Ibid, hal 307-308
[11] Ibid, hal 309
[12] Ibid, hal 309

 

Pin It on Pinterest

Shares
Share This