Sumber gambar : http://cheezburger.com

Adhe Nuansa Wibisono, S.IP

Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI
Jakarta, Jumat 25 Oktober 2013

Penggunaan Wacana Dalam 9/11
Richard Jackson dalam “Languange Power and Politics : Critical Discourse Analysis and the War on Terrorisme” menjelaskan apa signifikansi penggunaan wacana (discourse) oleh Amerika Serikat dalam Perang Global Melawan Terorisme. Amerika Serikat melakukan penggunaan wacana pada isu terorisme karena ia dianggap berkontribusi pada penciptaan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang diantara kelompok-kelompok sosial. Artinya wacana memiliki karakter ideologis yang jelas, wacana adalah penciptaan dan penyebaran akan “pemaknaan dalam pelayanan kekuasaan”. Secara lebih khusus, wacana bertindak sebagai konstruksi makna yang berkontribusi pada produksi, reproduksi dan transformasi hubungan dominasi di masyarakat.[1]
Richard Jackson kemudian menjelaskan beberapa faktor bagaimana bahasa memiliki pengaruh yang luas dalam pembentukan kebijakan politik dan opini publik dalam isu terorisme, diantaranya adalah : Pertama, semua bahasa memiliki struktur biner dasar yang hampir dalam setiap kata benda, kata sifat dan kata kerja memiliki lawan kata. Secara kritis, perlawanan kata ini umumnya “merendahkan satu kata dan mendukung kata lainnya”. Kedua, bahasa memainkan peran aktif dalam menciptakan dan mengubah persepsi,  kognisi dan emosi. Lebih dari itu bahasa juga mempengaruhi persepsi, bahasa membentuk kognisi yang mempengaruhi cara kita berpikir, dan terutama bagaimana kita membuat pilihan strategis. Ketiga, bahasa tidak dapat dilihat netral dikarenakan bahasa memiiliki sejarah. Bahasa pada awalnya tidak memiliki makna, mereka harus mendapatkan makna dalam pengaturan diskursif mereka sendiri.[2]

Selanjutnya Jackson menjelaskan elemen penting dalam konstruksi identitas akan wacana adalah penggunaan kiasan retoris “baik dan jahat” yang sudah tertanam dalam tradisi retorik dan kehidupan keagamaan di Amerika. Penggunaan bahasa ini menyebutkan teroris bersifat satanik dan korup secara moral. Penggunaan wacana ini bisa dilihat pada pernyataan George W. Bush, pada 11 September 2001, “Hari ini, bangsa kita melihat kejahatan yang paling buruk dari sifat manusia”. Selain itu juga Bush seringkali menyebutkan pelaku teroris dengan istilah “the evil ones” dan “evildoers”.[3]
Dalam konstruksi penggunaan wacana ini karakter teroris dianggap mendahului tindakannya, para teroris melakukan apa yang mereka lakukan dikarenakan hal itu sudah menjadi sifat alamiahnya, mereka membunuh dikarenakan itulah perbuatan jahat yang dilakukan para “demonic terrorist”. Penggunaan wacana ini merupakan wacana yang sangat kuat dan termasuk ke dalam tindakan penghasutan yang melakukan dekontekstualisasi dan dehistorisasi tindakan terorisme, memisahkan mereka dari berbagai konten politik dan secara simultan melakukan dehumanisasi kepada para teroris.[4]
Dalam upaya perluasan untuk membuat citra para penyerang sebagai setan,  para pejabat pemerintahan Amerika Serikat khususnya dalam masa administrasi pemerintahan George W. Bush, menggambarkan para teroris sebagai orang-orang tidak manusiawi atau bahkan dilihat bukan sebagai manusia. George W. Bush mengatakan tentang “kutukan terorisme yang terdapat di atas muka bumi”, sementara itu Colin Powell menyebutkan istilah “momok terorisme”. Metafora medis kemudian diperlihatkan secara eksplisit oleh Donald Rumsfeld yang mengatakan, “kami memiliki keyakinan bersama bahwa terorisme merupakan kanker bagi kehidupan manusia”. George W. Bush pada gilirannya berbicara mengenai bahaya bagi tubuh politik yang ditimbulkan oleh “parasit teroris yang mengancam negara mereka dan negara kita sendiri”. Dalam konstruksi seperti ini, opini mengenai terorisme dibentuk sebagai organisasi berbahaya yang membuat inangnya sakit, mereka terus bersembunyi di dalam tubuh, bergerak dalam aliran darah tubuh yang mereka tempati dan menyebarkan racun.[5]
Penggunaan bahasa tertentu ini menurut Richard Jackson, sebenarnya merupakan kelanjutan dari penggunaan wacana “musuh dalam”, para teroris dianggap sebagai “ancaman merah di bawah selimut”. Mereka dilihat sebagai “kelompok jahat bukan manusia” dan juga “musuh tanpa wajah akan kehormatan manusia” yang tidak layak mendapatkan simpati ataupun perlindungan. Meskipun suatu kesalahan untuk memperlakukan pasukan musuh secara tidak manusiawi, atau menyiksa tersangka kriminal, hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk hal yang dianggap sebagai parasit, kanker atau kutukan. Jika persepsi musuh dihapuskan dari moralitas kemanusiaan, akibatnya adalah tindakan terhadap mereka tidak lagi dinilai dengan kacamata moralitas. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk melakukan “operasi hitam” memerangi terorisme yang dilakukan tanpa mengindahkan proses hukum yang berlaku.[6]
Richard Jackson kemudian menunjukkan bagaimana cara George W. Bush membangun wacana antagonisme dalam merespon peristiwa 11 September, sebuah dunia yang terbagi dua antara “Good American” dan “Evil Terrorist”. Pada Hari Doa dan Berkabung Nasional, 14 September 2001, Bush mengatakan, “dalam ujian ini kita telah diingatkan, dunia telah melihat, bahwa masyarakat Amerika adalah orang-orang yang murah hati, baik, berakal dan berani”.[7]Bush membangun sebuah dunia baru yang memiliki batas-batas karakter yang jelas, “dimana teroris adalah orang-orang yang “kejam”, sedangkan masyarakat Amerika adalah orang yang murah hati dan baik, ketika para teroris lari dan bersembunyi, Amerika bersatu padu”.[8]
Di sisi lain, David Campbell menyatakan bahwa penggunaan wacana akan bahaya dan ancaman asing telah menyatu dalam membentuk dan mendisiplinkan identitas Amerika seperti yang telah dilakukan selama ini melalui kebijakan luar negerinya. Pemerintah Amerika Serikat telah melakukan penggunaan wacana ancaman dan bahaya dalam berbagai kasus : “ancaman merah” penduduk asli Indian-Amerika yang mengancam penyebaran peradaban damai di sepanjang perbatasan Barat, kerusuha para pekerja pada masa Revolusi Bolshevik, ancaman terhadap tata kehidupan Amerika selama Perang Dingin, ancaman dari “rogue states” seperti Libya, Panama, Korea Utara, Iran dan Iraq.[9]
Dampak negatif dari penggunaan wacana Amerika Serikat dalam perang melawan terorisme dapat dilhat dari pendapat Slavenka Drakulic yang mengatakan, “sekali konsep ‘otherness’ atau liyan telah berakar, hal-hal yang tidak terbayangkan mungkin terjadi. Hal tidak terbayangkan pada kenyataannya menjadi dianggap normal dalam masyarakat dan kita melihatnya : kegagalan untuk menuntut investigasi dalam dokumen kejahatan perang dan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan koalisi di Afghanistan dan Iraq, kritik-kritik yang didiamkan akan perlakuan tidak manusiawi terhadap tersangka teroris, terutama yang berada di bawah perlindungan hukum seperti anak-anak atau mereka yang diinterogerasi dan disiksa selama bertahun-tahun dan kemudian dibebaskan tanpa proses pengadilan, proses viktimisasi dan diskriminasi yang meluas kepada komunitas Muslim /Arab yang dianggap liyan oleh pihak yang berwenang dan masyarakat, tidak adanya protes yang berarti atas kebijakan pembantaian, serta pembunuhan di luar hukum dan kebrutalan akan pendudukan dan invasi di Iraq.[10]
MILF dan Efektivitas Strategi Penangkalan
Robert F. Trager dan Dessislava P. Zagorchava dalam artikel “Deterring Terrorism : It Can Be Done”, menjelaskan bahwa strategi penangkalan atau deterrence pada dasarnya menekankan pada penggunaan ancaman untuk membuat pihak lawan untuk tidak melakukan suatu tindakan atau aktivitas. Strategi penangkalan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (a) penangkalan dengan ancaman hukuman (deterrence by punishment) dan penangkalan dengan meningkatkan biaya serangan (deterrence by denial). Tipe pertama memberikan penekanan pada ancaman serangan terhadap sesuatu yang dianggap oleh lawan sebagai hal yang sangat krusial sedangkan tipe kedua memberikan penekanan pada melindungi target serangan untuk meningkatkan biaya lawan dalam melakukan serangan.[11]
Keberhasilan strategi penangkalan ditentukan oleh kredibilitas ancaman terhadap pihak lawan. Kredibiltas ini bukan hanya terkait dengan kepemilikan ancaman (kapabilitas) namun juga kemauan untuk menggunakannya (intensi). Selain menggunakan ancaman, strategi penangkalan juga dapat dilakukan dengan dengan mengkombinasikan ancaman dan solusi alternatif, jika pihak lawan mengambil langkah yang diharapkan oleh pelaku penangkalan. Keberhasilan strategi penangkalan ini ditentukan oleh dua kondisi, yaitu (1) pihak lawan harus mengerti ancaman apa yang akan dihadapi dan (2) pihak lawan harus bertindak rasional, serta mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam mengambil keputusan.
Strategi penangkalan harus diarahkan pada salah satu bagian yang rentan terhadap ancaman. Misalnya, strategi penangkalan bisa diarahkan pada penyedia dana dengan menekankan pada ancaman lain yang lebih besar jika penyedia dana tetap melanjutkan tugasnya untuk menyediakan dana bagi serangan teror. Untuk menghadapi kelompok teror yang memiliki motivasi tinggi namun niatan politiknya masih bisa ditawar, strategi penangkalan dapat diterapkan dengan mengidentifikasikan gradasi nilai politik kelompok teror. Kelompok teror yang bergerak dalam cakupan nasional atau lokal biasanya memiliki tujuan politik nasional atau lokal yang lebih dianggap penting dari tujuan yang lebih besar. Pilihan selanjutnya dapat dilakukan dengan menggunakan kekerasan terbatas. Kekerasan terbatas ini dilakukan untuk melukai kepentingan politik nasional atau lokal kelompok teror agar tidak meningkatkan eskalasi serangan. Pilihan ini oleh Trager dan Zagorcheva disebut sebagai temporary deterrence by punishment.
Menurut saya strategi penangkalan berjalan cukup efektif dalam penanggulangan terorisme, untuk memperkuat argumen ini kita bisa melihat strategi penangkalan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dan Filipina terhadap kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina Selatan. Setelah serangan 11 September, pemerintah AS dan Filipina menggunakan ancaman untuk memasukkan  MILF ke dalam daftar organisasi terorisme internasional Kementrian Luar Negeri AS. Pada Mei 2003, Amerika Serikat secara eksplisit mengatakan tindakan ancaman ini dilakukan untuk menghentikan kekerasan bersenjata yang dilakukan MILF terhadap penduduk sipil. Francis Ricciardone, Duta Besar AS untuk Filipina, mengatakan “Jika mereka melanjutkan tindakan terorisme, maka semua orang akan menganggap mereka sebagai teroris”. Ia lebih jauh memperingatkan MILF bahwa mereka akan kehilangan bantuan sebesar 30 Juta Dollar AS yang telah dialokasikan Kongres AS untuk daerah mereka jika MILF tidak memutuskan hubungannya dengan Jemaah Islamiyah.[12]
Sholahudin dalam “NII Sampai JI : Salafy Jihadisme di Indonesia” menjelaskan adanya hubungan antara MILF dan Jemaah Islamiyah yaitu ketika menyebutkan adanya pertemuan pada tahun 1999 antara Salamat Hasyim, Ketua Umum MILF dengan Muhaimin Yahya, pimpinan Mantiqi II Jemaah Islamiyah, yang membahas tentang Fatwa Jihad Usamah bin Laden.[13]Selain itu juga Justin Magouirk dalam “Connecting Terrorist Networks” menyebutkan kerjasama yang dilakukan antara JI dan MILF pada pengeboman Hari Nasional Jose Rizal di Filipina yang mengakibatkan lima ledakan simultan di Manila pada tanggal 30 Desember 2000. Serangan ini diarahkan oleh Riduan Ishamuddin (Hambali), pimpinan Mantiqi I Jemaah Islamiyah, sebagai balas dendam atas keputusan pemerintah Filipina untuk menyerbu pelatihan JI dan MILF kamp militer Abu Bakar dan kamp militer Hudaibiyah, di Mindanano, Filipina Selatan.[14]Hubungan lainnya dapa dilihat pada operasi penangkapan Fathurrahman Al Ghozi, anggota Jemaah Islamiyah yang dikenal dalam kemampuannya untuk “melatih teroris dari seluruh dunia Islam dalam pembuatan bom di kamp militer yang dijalankan oleh MILF” oleh militer Filipina pada tahun 2003.[15]
Strategi penangkalan yang dilakukan oleh pemerintah AS dan Filipina terhadap MILF dan hubungannya dengan Jemaah Islamiyah, Kelompok Abu Sayyaf dan Al Qaeda, dirasa cukup efektif berjalan. Terdapat perubahan yang signifikan dari posisi politik MILF pasca 11 September. Pada November 2002, sebagai hasil negosiasi diantara pemerintah AS-Filipina terhadap MILF terdapat sebuah kesepakatan yang membuat MILF akan membantu pemerintah dalam operasi penangkapan 100 tersangka terorisme dari Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda. Salah satu negosiator menyatakan, “MILF bersedia memberikan bukti nyata bahwa kelompok ini bukan merupakan kelompok teroris dengan membantu membasmi teroris di negara ini”. Kelompok ini juga setuju untuk membantu pemerintah Filipina dalam dalam memerangi kelompok Abu Sayyaf. Untuk memenuhi tujuan politik ini, MILF memperingatkan anggota kelompoknya  untuk melawan kombatan yang memasuki area yang dikuasai oleh MILF dan mengerahkan angkatan bersenjatanya untuk mengejar elemen-elemen kriminal di area tersebut.[16]
Kerjasama dalam melawan kelompok Abu Sayyaf terus berlanjut dan menurut Mayjen Raul Relano, “Pemerintah tidak akan berhenti melakukan pengejaran terhadap kelompok Abu Sayyaf dengan bantuan dari rekan-rekan MILF”. Pemerintah Filipina dan MILF juga berkoordinasi dalam serangan terhadap kelompok Abu Sayyaf dan Geng Pentagon (kelompok teroris Filipina yang memisahkan diri dari MILF pada tahun 2001 dan melanjutkan aksinya dalam penculikan dan pemerasan). Apa yang menjadi signifikan  dari contoh-contoh kerjasama dengan pemerintah ini adalah kerjasama tidak hanya dilakukan dalam wilayah yang dikuasai MILF, tetapi kelompok ini juga menyediakan militer Filipina dengan sumber intelijen, termasuk informasi dari mantan anggota MILF dan bahkan memberikan dukungan operasional.[17]Kerjasama antiterorisme antara pemerintah Filipina dengan MILF diresmikan pada Mei 2002 dengan pembentukan Ad Hoc Joint Action Group, yang bertugas melaksanakan operasi gabungan untuk mengisolasi “sindikat kriminal, kelompok penculik untuk tebusan dan elemen kriminal lainnya dalam wilayah yang dikuasai oleh MILF”.[18]
Terdapat beberapa analisa mengapa strategi penangkalan dapat berjalan efektif dari kasus MILF. Pertama, pemerintah AS dan Filipina memiliki kemampuan untuk meningkatkan biaya serangan pada kelompok teroris atau jaringan pendukung terorisme, bahkan pada kelompok yang memiliki motivasi politik tinggi sekalipun. Kedua, beberapa kelompok atau elemen menerima pemberian insentif yang diberikan oleh pemberi deterrence. Ketiga, negara dapat mencapai tujuan penting seperti mencegah kerjasama diantara kelompok teroris dan membuktikan efektivitas dari strategi penangkalan.   
Referensi

Jackson, Richard, Language Power and Politics : Critical Discourse Analysis and the War on Terrorism, Writing the War on Terrorism : Language Politics and Counter-Terrrorism, (Manchester : Manchester University Press, 2004)
Jackson, Richard, The Politics of Threat and Danger : Writing the War on Terrorism, Paper Presented at the BISA 29th Annual Conference, University of Warwick, 20-22 December, 2004
Kroenig, Matthew, and Barry Pavel, How to Deter Terrorism, Center for Strategic and International Studies, The Washington Quarterly, Vol. 35, No. 2, Spring 2012
Magouirk, Justin, Connecting Terrorist Networks, Studies in Conflict & Terrorism, 31:1–16, 2008, (Michigan, Routledge : 2008)
Solahudin, NII Sampai JI : Salafy Jihadisme di Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, Depok, Mei 2011
Trager, Robert F., and Dessislava P. Zagorcheva, Deterring Terrorism : It Can Be Done, International Security, Vol. 30, No. 3, 2005/6




[1] Richard Jackson, Language Power and Politics : Critical Discourse Analysis and the War on Terrorism, Writing the War on Terrorism : Language Politics and Counter-Terrrorism, (Manchester : Manchester University Press, 2004), Hal 5
[2] Ibid, Hal 4
[3] Ibid, Hal 7
[4] Ibid, Hal 7
[5] Ibid, Hal 7
[6] Ibid, Hal 8
[7] Ibid, Hal 8
[8] Ibid, Hal 9
[9] Ibid, Hal 10
[10] Ibid, Hal 15-16
[11] Robert F. Trager and Dessislava P. Zagorcheva, Deterring Terrorism : It Can Be Done, International Security, Vol. 30, No. 3, 2005/6, Hal 90-91
[12] Ibid, Hal 116
[13] Solahudin, ‘NII Sampai JI : Salafy Jihadisme di Indonesia’, (Jakarta: Komunitas Bambu, Depok, Mei 2011), hal 257
[14] Justin Magouirk, ‘Connecting Terrorist Networks’, Studies in Conflict & Terrorism, 31:1–16, 2008, (Michigan, Routledge : 2008), hal 5
[15] Robert F. Trager and Dessislava P. Zagorcheva, Deterring Terrorism : It Can Be Done, International Security, Vol. 30, No. 3, 2005/6, Hal 116
[16] Ibid, Hal 117
[17] Ibid, Hal 117
[18] Ibid, Hal 117

Pin It on Pinterest

Shares
Share This