Sumber gambar : http://www.hometeam.sg

Adhe Nuansa Wibisono, S.IP
Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI

Jakarta, Rabu 24 Desember 2013

Jemaah Islamiyah di Singapura
Di Singapura, jaringan Al Qaeda diwakili oleh jaringan kelompok Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok yang memiliki akar dari gerakan radikal Darul Islam di Indonesia, yang dibentuk oleh mantan anggota Darul Islam yang berada di Malaysia. Jumlah anggota Jemaah Islamiyah di Singapura tidak diketahui dengan pasto, tetapi diperkirakan memiliki jumlah anggota sebesar 60 sampai 80 orang anggota. Keberadaan organisasi ini dimulai ketika Ibrahim Maidin dilantik oleh JI pada tahun 1988 dan kemudian diangkat sebagai pemimpin pertama dari Qoid Wakalah, divisi yang beroperasi di Singapura. Ibrahim Maidin kemudian memimpin JI Singapura sampai tahun 1999, ia kemudian digantikan oleh Mas Selamat Kastari.[1]
Kehadiran JI di Singapura tidak terdeteksi sampai salah seorang anggota komunitas muslim di Singapura ditahan oleh Internal Security Department (ISD), badan keamanan yang mengawasi keamanan internal Singapura di bawah Ministry of Home Affairs, karena diduga memiliki hubungan dengan kelompok Al Qaeda. Tersangka diidentifikasi sebagai Mohd Aslam bin yar Khan Ali yang pernah pergi ke Afghanistan pada bulan November 2001 pada awal serangan pasukan koalisi kepada pemerintahan Thaliban. Penyelidikan berikutnya adalah menelusuri kontak dan koneksi yang dimiliki Mohd Aslam, ia juga pernah ditahan oleh pasukan Aliansi Utara di Afghanistan.[2]
 

Pada bulan Desember 2001 dan Agustus 2002, dua operasi besar dilakukan terhadap jaringan kelompok JI di Singapura, yang mengakibatkan ditahannya 31 anggota JI di bawah Internal Security Act (ISA). Beberapa kemudian dilepaskan dengan disertai Restriction Order. Tujuh orang warga negara Singapura yang kemudian ditangkap, hanya satu orang saja yang dilepaskan dengan Restriction Order. Keputusan ini juga diberikan kepada sepuluh orang lainnya yang diduga sebagai anggota JI. Satu orang yang kemudian menjadi perhatian banyak pihak adalah Mas Selamat Kastari, yang berencana untuk melakukan pembajakan pesawat terbang dan menabrakkan pesawat ke bandara Changi, tetapi kemudian berhasil ditangkap dan diamankan di Riau oleh aparat keamanan Indonesia.[3]Ia kemudian melarikan diri dari tahanan pada tanggal 27 Februari 2008, namun akhirnya ditangkap kembali di Johor Bahru, Malaysia, pada 1 April 2009 oleh pemerintah Malaysia setelah melarikan diri dari Singapura.[4]
Kemampuan operasional dari Jemaah Islamiyah Singapura telah berhasil dilemahkan oleh gelombang penangkapan cepat terhadap sejumlah pemimpin dan tokoh kuncinya. Salah satunya adalah Mohammad Sharif Rahmat, warganegara Singapura berusia 35 tahun, yang telah menjadi anggota JI sejak tahun 1990 dan dilatih oleh JI dan kelompok militan di Muzaffarabad, pakistan, dalam pelatihan persiapan untuk menghadapi konflik bersenjata, telah ditahan di bawah kebijakan ISA pada 11 November 2005.[5]
Internal Security Act
Di bawah kebijakan Internal Security Act, pemerintah Singapura melakukan penahanan preventif terhadap siapapun yang dicurigai menjadi ancaman bagi keamanan nasional Singapura. Dimulai pada tahun 2002, 73 orang telah ditahan dengan dugaan keterlibatan dalam terorisme. Sejak September 2008, hanya 23 orang tahanan yang tetap dipenjarakan dan 41 orang telah dibebaskan  di bawah beberapa jenis pengawasan. Beberapa orang lainnya telah dibebaskan tanpa syarat.[6]
Strategi komprehensif Singapura berasal dari persepsi negara mengenai ancaman terorisme. Hal ini jelas tercermin dalam White Paper tahun 2003, “The Jamaah Islamiyah (JI) Arrests and The Threat of Terrorism”, yang menggambarkan jaringan JI di Asia Tenggara, hubungannya dengan Al Qaeda dan ancaman yang mereka akibatkan bagi Singapura. Kebijakan Pemerintah Singapura, National Security Strategy (NSS) yang berjudul “The Fight against Terror” mengidentifikasi Singapura sebagai target utama serangan terorisme dikarenakan posisi Singapura yang tegas dalam perlawanan terhadap terorisme dan perannya dalam upaya kontraterorisme global. Menteri Koordinator Singapura untuk Keamanan dan Pertahanan, Dr. Tony Tan menjustifikasi kebijakan pembentukan struktur keamanan dalam negeri yang komprehensif dengan mengutip pernyataan, “berpotensi untuk mengorganisir aksi terorisme yang disengaja dan berkepanjangan”.[7]  
Singapura kemudian memperkenalkan struktur baru baik dalam wilayah kebijakan, intelijen dan operasional. Untuk mengatasi terorisme dalam wilayah domestik, pemerintah membentuk Security Policy Review Committee untuk mengkoordinasikan arsitektur keamanan yang baru. Lembaga baru seperti Homefront Security Officedan Joint Counter-terrorisme Centerdibentuk. Sedangkan untuk lembaga keamanan yang sudah ada, misalnya National Security Secretariat (NSS), ditingkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar instansi.[8]
Singapura kemudian meningkatkan kerjasama keamanan antara Joint Counter-terrorism Center dan U.S. Pacific Command Joint Intelligence Center. Selanjutnya dalam keamanan maritim, Singapura menjadi pelabuhan utama untuk mengamankan kargo sesuai dengan kebutuhan transportasi kargo Amerika Serikat setelah Amerika Serikat menerapkan Strategic Goods Control Law pada Januari 2003. Singapura kemudian juga menjadi negara Asia pertama yang bergabung dengan Custom Container Security Initiative yang dipimpin oleh Amerika.[9]
ISA adalah sebuah undang-undang khusus yang dirancang untuk memberikan wewenang terhadap penahanan preventif, yaitu memberikan otoritas untuk menahan dan menangkap tersangka terorisme tanpa adanya surat perintah atau judicial review. Di masa lalu, pemerintah Singapura menggunakan ISA untuk menangkap lawan politik dan oposisi. Saat ini dalam wacana “war on terror”, ISA digunakan untuk menahan apa yang disebut oleh pemerintah Singapura sebagai tersangka teroris. Selama masa penangkapan pertama tersangka teroris di bawah kebijakan ISA pada Desember 2001, terdapat 15 orang yang ditahan. Menindaklanjuti bukti yang diperoleh dari penangkapan ini adalah, gelombang penangkapan kedua dilakukan pada Agustus 2002, menahan 21 orang lainnya yang diduga sebagai anggota JI. Pemerintah Singapura menyatakan bahwa target serangan teroris bukan merupakan fasilitas Amerika tetapi infrastruktur yang dimiliki Singapura meliputi sistem perairan, bandara Changi, pusat petrokimia Singapura dan proyek pembangkit listrik baru di Pulau Jurong.[10]
Kerjasama Keamanan AS – Singapura
Joint Counter Terrorism Center (JCTC) mengkoordinasikan beberapa lembaga dan departemen dari pemerintahan Singapura yang berhubungan dalam penanganan terorisme, termasuk badan intelijen. Sejak peristiwa 9/11, Singapura telah meningkatkan kerjasama intelijen dengan negara-negara di kawasan dan juga Amerika Serikat. Pemerintah Singapura telah berbagi informasi yang telah dikumpulkan dari tersangka militan yang dilakukan dibawah Internal Security Act (ISA) dengan pejabat pemerintahan AS, yang melaporkan secara detail struktur, metode gerak dan strategi perekrutan dari organisasi Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda. Singapura juga merupakan anggota pendiri dari Proliferation Security Initiative (PSI), sebuah program yang bertujuan untuk mengawasi pengiriman senjata pemusnah massal dan merupakan negara Asia pertama yang bergabung dengan Container Security Initiative (CSI), serangkaian perjanjian bilateral yang memungkinkan pejabat US Customs and Border Patrol untuk melakukan pengecekan terhadap kontainer yang menuju AS. Singapura juga mengarahkan negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk bersama-sama melindungi jalur pelayaran penting Selat Malaka dari pembajakan atau serangan teroris.[11]
Penguatan Homeland Security
Pemerintah Singapura menyatakan bahwa fasilitas pelabuhan dan target penting lainnya tetaplah rentan dan telah meningkatkan perlindungan bagi infrastruktur penting ini. Tindakan yang diambil termasuk kamera pengintai bawah air dan fasilitas listrik, meningkatkan keamanan di kedutaan besar dan area publik penting, dan penurunan personil keamanan di berbagai pusat petrokimia. Singapura kemudian mengubah birokrasi keamanan nasional miliknya dan melembagakan kampanye “Total Defense”, yang menyerukan kepada semua warganegara Singapura untuk berpartisipasi dalam pertahanan nasional. Pemerintah Singapura bermaksud untuk menyiapkan kondisi psikologis publik akan serangan terorisme. Sebuah latihan anti-terorisme berskala besar digelar pada bulan Juni 2005 melibatkan lebih dari 1,000 orang penduduk dan pejabat Singapura pada sebuah model sistem transportasi umum di Singapura.
Peraturan mengenai arus barang dan manusia yang melintasi perbatasan Singapura telah diintensifkan melalui penggabungan fungsi pengawasan perbatasan bea cukai dan imigrasi. Untuk memperkuat keamanan perbatasan, Singapura telah memperkenalkan paspor biometrik yang disertakan chip yang berisikan informasi identifikasi wajah dan sidik jari pemilik paspor. Singapura kemudian melembagakan sistem Strategic Goods Control (SGC) yang bertujuan untuk mencegah proliferasi senjata pemusnah massal dan aktif dalam forum internasional yang fokus pada rezim pengawasan ekspor, termasuk program Export Control and Related Border Security Assurance (EXBS) yang diselenggarakan oleh U.S. Department of State.[12]
Religious Rehabilitation Group
Dalam artikel “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs”, Darcy M.E. Noricks menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan deradikalisasi, faktor-faktor apa yang menyebabkan deradikalisasi dan bagaimana proses deradikalisasi itu dilakukan. Deradikalisasi dapat dipahami baik secara ideologis atau perilaku, Omar Ashour (2008a) dalam tulisannya mendefinisikan konsep deradikalisasi sebagai proses yang mengarahkan individu atau kelompok untuk mengubah perilakunya terkait aksi kekerasan – khususnya mengenai kekerasan terhadap warga sipil. Hasil dari deradikalisasi ideologis dapat dilihat dari perubahan cara pandang individu, sedangkan deradikalisasi perilaku menekankan perubahan dalam aspek tindakan individu.[13]
Penahanan sejumlah anggota Jemaah Islamiyah dilanjutkan Singapura dengan menerapkan program rehabilitasi ideologis yang mencoba untuk melakukan deradikalisasi kepada para tahanan. Singapura mendasarkan program tersebut kepada pengalaman Yaman dalam program serupa. Inti dari program Singapura adalah untuk menangkal ideologi ekstremis yang dipegang oleh para tahanan teroris. Singapura menggunakan ulama moderat untuk terlibat dalam diskusi dan konseling dengan tahanan. Pemerintah Singapura juga bekerjasama dengan komunitas musim untuk memberikan bantuan finansial terhadap keluarga para tahanan. Selain itu, pemerintah Singapura juga mengambil beberapa langkah untuk mencegah keterasingan komunitas muslim di Singapura dengan selalu menginformasikan pemimpin komunitas Muslim akan penangkapan dan investigasi terhadap tersangka teroris. Singapura juga telah mengambil langkah tambahan untuk menangkal ideologi radikal dalam komunitas Muslim dengan mencari dan mendapatkan dukungan dari komunitas Muslim, memberikan standardisasi lisensi terhadap ulama lokal dan mempromosikan nilai-nilai Islam moderat.[14]
Dalam kasus di Singapura, penemuan sel Jemaah Islamiyah pada tahun 2003 mengakibatkan pembentukan Religious Rehabilitation Group (RRG) yang pada awalnya difokuskan pada individu yang ditahan karena kasus terorisme. RRG kemudian diperluas perannya juga meliputi anggota keluarga tahanan atas dasar sukarela dan kemudian pembinaan komunitas muslim secara lebih luas. Ulama muslim setempat menolong RRG untuk mendiskusikan misinterpretasi Jemaah Islamiyah terhadap ajaran Islam, kemudian menerbitkan dan mendistribusikan tulisan-tulisan yang lebih moderat mengenai agama Islam (sebagai contoh “Unlicensed to Kill : Countering Imam Samudra’s Justification for the Bali Bombing [Hassan, 2006]”), dan memberikan pendidikan tentang Islam moderat baik kepada para tahanan dan masyarakat yang lebih luas. Selain itu sejumlah kelompok muslim setempat memberikan dukungan keuangan dan psikologis kepada keluarga yang ditahan, dengan berbagai program seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Data yang ada menyebutkan bahwa 19 orang dari 51 orang tahanan telah dibebaskan setelah rata-rata mendapatkan tiga tahun masa penahanan diantara tahun 2001 sampai akhir tahun 2007.[15]
Program RRG terdiri dari tiga kelompok, kelompok pertama, Secretariat Group, terdiri dari enam relawan dari berbagai varian kelompok Islam yang menangani tugas-tugas administratif RRG dan menyiapkan bahan-bahan material bacaan untuk menangkal ideologi radikal dari para tahanan JI. Kelompok kedua, Resource Panel, yang terdiri dari seorang hakim, cendekiawan Muslim dari pemerintah dan tiga ulama Muslim independen yang bertugas untuk melakukan evaluasi terhadap materi yang disusun oleh Secretariat Group. Kelompok ketiga, Rehabilitation Counselors Panel, yang terdiri dari sekitar 20 orang relawan konselor keagamaan yang memberikan konseling kepada tahanan, mantan tahanan dan keluarga tahanan.[16]
RRG terdiri dari para relawan ulama dan guru Muslim yang memberikan konseling dan terlibat dalam diskusi dengan para tahanan untuk menangkal ideologi radikal yang mereka pahami. Relawan terdiri baik dari pria ataupun wanita dari berbagai usia yang memiliki pengalaman dalam mengajarkan Islam dan banyak diantaranya adalah lulusan dari universitas Islam terkemuka baik di Mesir, Arab saudi dan Malaysia.[17]
Program reedukasi dan rehabilitasi dilakukan dalam empat tahapan. Pada tahapan pertama program, sang konselor akan mengidentifikasi kecendrungan ideologi dan kesalahpahaman mengeni konsep-konsep Islam yang dianut oleh para tahanan. Tahap kedua dimulai dengan diskusi dan konselor menyangkal setiap keyakinan yang salah. Tahap ketiga, konselor menggantikan setiap kesalahpahaman dengan interpretasi yang lebih moderat akan Islam. Tahap terakhir, konselor kemudian mengajarkan para tahanan akan ajaran Islam yang lebih moderat. RRG kemudian berfokus pada lima bidang spesifik yaitu : aspek ekstremisme, kesalahan intrepretasi akan konsep-konsep Islam tertentu, hubungan antara Muslim dan non-Muslim, konsep jihad dan syariah dan sudut pandang anti-Barat dari para tahanan.[18]
Dari tahun 2004 hingga 2006, konselor RRG telah melakukan lebih dari 500 sesi konseling dengan para tahanan JI. Sesi dialog dengan para pemimpin JI dianggap tidak produktif, namun sesi diskusi dengan para anggota biasa menghasilkan suatu perubahan yang positif. Sebagian besar para tahanan tidak terlibat dalam tindakan terorisme yang sebenarnya dan hanya mengambil perang pendukung dalam kelompok JI. Usia rata-rata dari para tahanan adalah 39 tahun dan sebagian besar telah bekerja, menikah dan berkeluarga.[19]
Pemerintah Singapura juga memfokuskan perhatiannya akan dukungan kepada keluarga tahanan. Pada tahun 2005, pemerintah Singapura membentuk sebuah organisasi untuk membantu keuangan keluarga tahanan. Organisasi ini dinamakan Interagency-After Care Group (ACG) yang memberikan bantuan keuangan kepada keluarga tahanan, membantu anggota keluarga untuk mencari pekerjaan dan menyediakan peluang pendidikan untuk anak-anak para tahanan. Konselor perempuan dikirim untuk berinteraksi dengan anggota keluarga perempuan para tahanan. Sebagian besar dari keluarga tersebut secara ekslusif mengandalkan sumber keuangannya kepada para suaminya yang telah menjadi tahanan terorisme, sehingga dukungan keuangan kepada para keluarga ini menjadi satu hal yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah Singapura. [20]
Pemerintah Singapura juga telah bekerja untuk memperbaiki hubungan antara Muslim dan non-Muslim pada masyarakat Singapura. Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) bekerjasama dengan asosiasi komunitas Muslim untuk melakukan sertifikasi dan mendaftarkan guru-guru agama di Singapura untuk memastikan pemahaman Islam yang moderat yang disebarkan di masyarakat. MUIS juga mendirikan Harmony Centre, sebuah pusat peradaban Islam, tujuan dari lembaga ini adalah untuk mempromosikan pemahaman dari agama-agama besar untuk memperbaiki prasangka antara komunitas Muslim dan Non-Muslim di Singapura.[21]
Kesimpulan
 Proses disengagementdan deradikalisasi merupakan salah satu metode dalam penanganan kasus terorisme dimana rehabilitasi dan reintegrasi kepada masyarakat luas seorang pelaku terorisme menjadi tujuan utamanya. Proses ini menjadi sarana penting dalam model penegakan hukum (law enforcement model) dalam penanganan terorisme. Pelaku terorisme dalam pendekatan ini dilihat sebagai manusia secara seutuhnya, sehingga proses penegakan hukum, penahanan, pembinaan yang tercakup dalam disengagementdan deradikalisasi diharapkan dapat kembali menjadikan seorang pelaku terorisme untuk meninggalkan ideologi radikal dan kembali memiliki kehidupan normal di masyarakat. Deradikalisasi dilakukan agar individu pelaku terorisme dapat mengubah cara pandang dan tindakan radikalnya menjadi lebih moderat dan tidak radikal.
Selain berfokus kepada pelaku terorisme, program deradikalisasi Singapura, Religious Rehabilitation Group, juga ditujukan kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Hal ini dilakukan agar proses deteksi dini dan pencegahan ideologi radikalisme dapat dilakukan secara lebih efektif. Selain itu pula aspek sosial-ekonomi juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, mengingat dengan ditahannya pelaku terorisme di dalam penjara, maka praktis pendapatan keluarga pelaku juga akan terkendala, sehingga pemerintah Singapura memberikan program bantuan pendanaan kepada keluarga pelaku, termasuk juga pendidikan untuk anak dan keluarga pelaku. Setelah pelaku terorisme dibebaskan dilakukan juga pendampingan pekerjaan untuk pelaku agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kebijakan yang bersifat soft diplomacy ini diharapkan dapat memutus mata rantai kekerasan dan radikalisme yang berpotensi untuk tumbuh di lingkar inti pelaku terorisme, yaitu keluarga serta kerabat, kemudian juga diharapkan program deradikalisasi ini dapat menjadi penyeimbang bagi pendekatan operasi militer yang seringkali memicu kebencian dari lingkar inti komunitas kelompok radikal kepada pemerintah dan aparat keamanan.
Referensi
Ahmed, Ishtiaq, Radicalization and De-Radicalization in Singapore and Pakistan : A Comparison, Conflict and Peace Studies, Volume 2, Number 3, (Islamabad : Pak Institute for Peace Studies, 2009)
Bin Hassan, Muhammad Haniff, and Kenneth George Pereire,An Ideological Response to Combating Terrorism – The Singapore Perspective, Small Wars and Insurgencies Vol. 17, No. 4, 458–477, (Singapore : Routledge, December 2006)
Febrica, Senia, Securitizing Terrorism in Southeast Asia : Accounting for the Varying Responses of Singapore and Indonesia, Asian Survey, Vol. 50, Number 3, pp. 569–590, (California : University of California Press, 2010)
Johnston, Amanda K., Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009)
Noricks, Darcy M.E., Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs, dalam Paul K. Davis, Kim Cragin, Ed, Social Science for Counterterrorism, (Santa Monica : RAND Corporation, 2009)
Vaughn, Bruce, etc, Terrorism in Southeast Asia, CRS Report for Congress, (Washington DS : Congressional Research Service, 2009)



[1] Muhammad Haniff Bin Hassan & Kenneth George Pereire, An Ideological Response to Combating Terrorism – The Singapore Perspective, Small Wars and Insurgencies Vol. 17, No. 4, 458–477, (Singapore : Routledge, December 2006), hal 460
[2] Muhammad Haniff Bin Hassan & Kenneth George Pereire, An Ideological Response to Combating Terrorism – The Singapore Perspective, Small Wars and Insurgencies Vol. 17, No. 4, 458–477, (Singapore : Routledge, December 2006), hal 460
[3] Muhammad Haniff Bin Hassan & Kenneth George Pereire, An Ideological Response to Combating Terrorism – The Singapore Perspective, Small Wars and Insurgencies Vol. 17, No. 4, 458–477, (Singapore : Routledge, December 2006), hal 460
[4] Ishtiaq Ahmed, Radicalization and De-Radicalization in Singapore and Pakistan : A Comparison, Conflict and Peace Studies, Volume 2, Number 3, (Islamabad : Pak Institute for Peace Studies, 2009), hal 8
[5] Muhammad Haniff Bin Hassan & Kenneth George Pereire, An Ideological Response to Combating Terrorism – The Singapore Perspective, Small Wars and Insurgencies Vol. 17, No. 4, 458–477, (Singapore : Routledge, December 2006), hal 460
[6] Amanda K. Johnston, Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009), hal 49-50
[7] Senia Febrica, Securitizing Terrorism in Southeast Asia : Accounting for the Varying Responses of Singapore and Indonesia, Asian Survey, Vol. 50, Number 3, pp. 569–590, (California : University of California Press, 2010), hal 574
[8] Senia Febrica, Securitizing Terrorism in Southeast Asia : Accounting for the Varying Responses of Singapore and Indonesia, Asian Survey, Vol. 50, Number 3, pp. 569–590, (California : University of California Press, 2010), hal 574
[9] Senia Febrica, Securitizing Terrorism in Southeast Asia : Accounting for the Varying Responses of Singapore and Indonesia, Asian Survey, Vol. 50, Number 3, pp. 569–590, (California : University of California Press, 2010), hal 575
[10] Senia Febrica, Securitizing Terrorism in Southeast Asia : Accounting for the Varying Responses of Singapore and Indonesia, Asian Survey, Vol. 50, Number 3, pp. 569–590, (California : University of California Press, 2010), hal 576
[11] Bruce Vaughn, etc, Terrorism in Southeast Asia, CRS Report for Congress, (Washington DS : Congressional Research Service, 2009), hal 29
[12] Bruce Vaughn, etc, Terrorism in Southeast Asia, CRS Report for Congress, (Washington DS : Congressional Research Service, 2009), hal 29-30
[13] Darcy M.E. Noricks, Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs,, dalam Paul K. Davis, Kim Cragin, Ed, Social Science for Counterterrorism, (Santa Monica : RAND Corporation, 2009), hal 300
[14] Amanda K. Johnston, Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009), hal 50
[15] Ibid, hal 309
[16] Amanda K. Johnston, Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009), hal 51
[17] Amanda K. Johnston, Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009), hal 51
[18] Amanda K. Johnston, Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009), hal 52
[19] Amanda K. Johnston, Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009), hal 53
[20] Amanda K. Johnston, Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009), hal 53
[21] Amanda K. Johnston, Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extremists, Thesis, (California : Naval Postgraduate School, 2009), hal 54

Pin It on Pinterest

Shares
Share This