182017_aksi-suporter-indonesia-di-piala-aff-2012_663_382
sumber gambar : bola.viva.co.id
Adhe Nuansa Wibisono, S.IP, M.Si
Direktur Center of Leadership Studies
Sekolah Kepemimpinan Bangsa
 
Esensi Kemandirian
Menurut Masrun (1986:8) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun berpikir dan bertindak original, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya. Sedanngkan pendapat lainnya menyatakan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga individu mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seseorang dapat memilih jalan kehidupannya untuk berkembang dengan lebih baik (Mu’tadin, 2002).
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik atau material. Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri.
Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat yang ditandai adanya kemandiriannya dapat dicapai melalui proses pemberdayaan masyarakat. Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif masyarakat yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan tidak memiliki daya, kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif atau masyarakat terpinggirkan dalam pembangunan. Tujuan akhir dari proses pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya.
Prinsip kemandirian tidak hanya muncul dalam berbagai literasi sosial di masyarakat tetapi anjuran akan nilai-nilai kemandirian juga didorong dalam ajaran agama Islam seperti yang tercantum pada firman Allah SWT dalam Al Qur’an dan beberapa hadist yang menganjurkan seseorang muslim untuk makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain.
Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (QS Al Jumu’ah : 10)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah yang menjadikan bumi untukmu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS Al Mulk : 15)
Tentang ayat ini dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Allah telah menyebutkan nikmat yang telah dianugerahkan kepada mahluk-Nya dengan menyediakan bumi bagi mereka dan membentangkannya untuk mereka. Dia membuat bumi sebagai tempat menetap yang tenang karena Dia telah menciptakan gunung-gunung padanya. Dan Allah telah mengalirkan di dalamnya mata air, membentangkan jalan, serta menyediakan di dalamnya berbagai manfaat sebagai tempat bercocok tanam dan buah-buahan. Ibnu Katsir kemudian menafsirkan bahwa manusia diperintahkan untuk melakukan perjalanan untuk bertebaran dan menjelajahi segala penjuru bumi untuk menjalankan berbagai macam usaha dan perdagangan. Usaha manusia tersebut tidak akan bermanfaat kecuali jika Allah telah memberikan kemudahan untuk usaha tersebut.
Dari Umar Radhiyallahu‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]
Dari Abi Abdillah, Zubair bin Awwam Radhiyallahu‘anhu, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1471].
Penjelasan mengenai hadits tersebut adalah Rasulullah SAW menganjurkan umatnya agar berusaha untuk memenuhi hajat hidupnya dengan jalan apapun menurut kemampuannya asalkan jalan yang ditempuh itu halal. Jika manusia setelah berusaha untuk mencari nafkah kemudian bertawakkal kepada Allah maka perumpaan yang diberikan adalah seperti rizki yang diberikan Allah kepada burung yang pergi di pagi dalam keadaan perut kosong dan kemudian pulang di sore hari dalam keadaan kenyang sudah mendapatkan makanan. Hadist tersebut juga menjelaskan bahwa berusaha dengan bekerja kasar seperti mengambil kayu bakar di hutan itu lebih terhormat daripada meminta-minta kepada orang lain. Itulah didikan dan arahan Rasulullah SAW yang menjadikan kaum Muslim sebagai manusia yang terhormat dan bukan sebagai kaum yang lemah dan pemalas.
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Radhiyallahu‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, ia berkata: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2072].
Penjelasan mengenai hadits tersebut bahwa seseorang lebih baik untuk makan makanan yang berasal dari hasil usahanya sendiri. Bekerja atau berusaha dalam jenis pekerjaan apapun asal yang ditempuh halal adalah baik dan terhormat.  Para nabi dan rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia, tetapi mereka juga mencari makan dari hasil usahanya sendiri.
Kemandirian Bangsa
Konsep kemandirian selain dijelaskan dalam prinsip-prinsip keagamaan juga ditemukan dan diterjemahkan kepada kemandirian bangsa. Ginandjar Kartasasmita (2004) menjelaskan kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Perkembangan dunia yang cepat menuju ke arah kehidupan global telah membangkitkan perhatian lebih besar kepada masalah kemandirian yaitu akan perlunya ketegasan bahwa kemajuan yang ingin dicapai dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat haruslah bersamaan dengan peningkatan kemandirian.[1]Kedua tujuan itu satu sama lain saling berkaitan dan tidak saling mengecualikan (not mutually exclusive). Bangsa yang ingin dibangun bukan hanya yang maju tetapi juga mandiri. Konsep kemandirian ini bukanlah kemandirian dalam keterisolasian. Kemandirian kemudian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan (interdependence) yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, dalam suatu negara ataupun antar bangsa.[2]
Kartasasmita kemudian melanjutkan bahwa kemandirian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau defensif. Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah baik perimbangannya maupun nilai-nilai yang mendasarinya. Suatu bangsa dikatakan semakin mandiri apabila bangsa tersebut mampu mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan kekuatannya sendiri. Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian harus dibangun kemajuan ekonomi.  Suatu bangsa dikatakan makin maju apabila makin tinggi tingkat pendidikan penduduknya, makin tinggi tingkat kesehatannya dan makin tinggi tingkat pendapatan pendidik, serta makin merata pendistribusiannya.[3]
Meskipun kemajuan dan kemandirian mencerminkan perkembangan ekonomi suatu bangsa, ia bukan semata-mata konsep ekonomi. Kemajuan dan kemandirian juga tercermin dalam keseluruhan aspek kehidupan, dalam kelembagaan, pranata dan nilai yang mendasari kehidupan sosial dan politik. Kemandirian mencerminkan sikap suatu bangsa mengenai diri, masyarakat dan semangatnya dalam menghadapi tantangan yang ada. Karena menyangkut sikap, maka kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya. Sehingga ukuran kemajuan dan kemandirian suatu bangsa tidak dapat diukur hanya dari pendapatan per kapita, tetapi menyangkut juga aspek manusianya. Manusia adalah sumber daya pembangunan yang paling utama di antara sumber daya lain yang akan dibangun kemampuan dan kekuatannya sebagai pelaksana dan penggerak pembangunan.[4]
Prinsip Trisakti
Konteks kemandirian bangsa kemudian menemukan penegasan aspek historisnya pada prinsip Trisakti yang digagas oleh Ir. Soekarno. Dalam pidato kemerdekaan 17 Agustus 1964, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso), pada pidato ini ia menjelaskan tiga prinsip berdikari yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga prinsip ini menurut Bung Karno tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Menurutnya, tidak mungkin akan ada dalam kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdikari dalam ekonomi begitu pula sebaliknya. Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia berdaulat dan tidak didikte oleh kekuatan asing manapun. Sedangkan dalam politik luar negerinya, Bung Karno menerapkan politik bebas aktif dimana Indonesia tidak tunduk kepada salah satu dari blok dunia, sosialis ataupun kapitalis. Dalam politik yang berdaulat ini, Bung Karno berhasil mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA).[5]
Berdikari dalam ekonomi berarti bahwa bangsa Indonesia harus bersandar pada modal dan sumberdaya manusia dalam negeri dan mengoptimalkan sebesar-besarnya. Tidak boleh lagi terjadi “ayam mati di lumbung padi”, karena sumber daya alam Indonesia melimpah ruah. Melalui Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdikari, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Bung Karno yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreativitasnya dikembangkan.[6] 
Dalam konteks berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno berhasil memperjuangkan Pancasila sebagai bentuk kemandirian bangsa dengan memiliki ideologi negara sendiri. Bung Karno juga secara tegas menolak budaya asing, eksploitasi dan penjajahan oleh kekuatan asing. Menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya nusantara sangatlah kaya dan harus digali lebih dalam. Sehinga Bung Karno mendukung pemboikotan film-film Barat, pemberantasan musik The Beatles, literatur dan roman Barat serta budaya dansa-dansi. Merujuk pada tujuan Trisakti yang ketiga, maka implementasi Pancasila merupakan bentuk kemandirian bangsa dalam bidang sosial budaya. Maka pengalaman nilai Pancasila menjadi penting apabila Trisakti menjadi visi nyata kemandirian bangsa.[7]
Kemudian ketika berpidato dihadapan Sidang Umum IV MPRS pada tahun 1966, Bung Karno menegaskan makna dari Berdikari, “Berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka, yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kepada kerjasama yang sama derajat dan saling menguntungkan. Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan tersebut. Prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas bahwa dengan tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau bekerjasama berdasarkan sama derajat dan saling menguntungkan”.[8]
Dengan demikian gagasan nasionalisme Indonesia yang digagas Bung Karno bukan merupakan politik isolasi yang mengucilkan Indonesia dari pergaulan politik internasional, tetapi merupakan landasan bagi bangsa Indonesia untuk bersikap secara mandiri. Melalui sikap kemandirian itulah Indonesia akan melangkah lebih jauh dalam pergaulan internasional. Sebagai salah satu prinsip Trisakti, yaitu berdikari dalam bidang ekonomi, gagasan besar Bung Karno tersebut tidak bisa dilepaskan dari pergulatan pemikiran yang panjang serta konteks yang mengitarinya. Lahirnya konsep Ekonomi Berdikari dapat dibaca sebagai tindakan Bung Karno dalam mempertahankan serta menyelamatkan negara dari krisis ekonomi dan politik pada tahun 1957, krisis yang terbesar yang ada pasca kemerdekaan Indonesia.   
Ekonomi Berdikari yang dimaksud Bung Karno bertolak dari prinsip negara sebagai pusat kekuatan ekonomi dengan menguasai alat-alat produksi, distribusi dan modal. Dalam prosesnya, Ekonomi Berdikari bertujuan untuk membangun perekonomian nasional yang kukuh dengan melaksanakan mekanisasi pertanian dan industrialisasi. Terutama pada industri dasar seperti baja, kimia dasar, dan mesin atau industri berat. Industri yang dikembang sesuai dengan tujuan untuk menghubungkan pertanian dengan industri untuk peningkatan daya beli masyarakat. Modal harus diusahakan dari kemampuan seluruh daya produksi dalam negeri dan kekayaan alam Indonesia. Pengusahaan modal dalam negeri tersebut kemudian memutus ketergantungan kepada modal asing dan menciptakan produksi dalam negeri sendiri. Untuk itu dilakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing.[9]
Ekonomi Berdikari dapat dikatakan sebagai sebuah program yang tidak bisa dilepaskan dari semangat antikolonialisme yang kental. Ekonomi Berdikari berarti mengembalikan kedaulatan ekonomi kepada bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka pemilik berbagai kekayaan sumber daya alam Indonesia. Dengan memutus ketergantungan kepada modal maupun sumber daya manusia asing. Secara konseptual Ekonomi Berdikari merupakan satu pandangan alternatif dalam menghadapi perkembangan kapitalisme, imperialisme, kolonialisme beserta feodalisme. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Bung Karno pada tahun 1963 ketika Deklarasi Ekonomi (Dekon) dikumandangkan sebagai jalan pembangunan ekonomi yang stabil dengan dasar anti imperialisme, kolonialisme dan feodalisme.[10]
Watak menghisap dan menindas dari isme-isme itulah yang hendak dilawan oleh Ekonomi Berdikari. Tujuannya adalah untuk menggusur semua bentuk penanaman modal asing yang bersifat menghisap dan menghalangi kemajuan ekonomi Indonesia. Serta untuk meningkatkan prduksi dalam negeri dan melepaskan Indonesia dari pengaruh fluktuasi harga internasional, serta melepaskan Indonesia dari cengkeraman modal monopoli asing. Meski mengutamakan kekuatan modal sendiri untuk membangun industri dalam negeri, namun bukan berarti konsep Ekonomi Berdikari anti dan menolak semua modal dan investasi asing dari luar negeri. Posisi modal luar negeri hanya menjadi alat pelengkap, dengan syarat tidak mengikat secara politik ataupun militer dan hanya berbentuk sebagai pinjaman luar negeri.[11]
Politik Bebas Aktif
Dalam konteks politik luar negeri, prinsip kemandirian diwujudkan dalam bentuk prinsip politik luar negeri bebas aktif. Menurut Mohammad Hatta, politik “Bebas” berarti Indonesia tidak berada dalam kedua blok dan memilih jalan sendiri untuk  mengatasi masalah internasional. Istilah “Aktif” adalah upaya untuk bekerja lebih giat dalam menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan diantara kedua blok (Mohammad Hatta, 1976 : 17). Prinsip politik luar negeri pertama kali dikemukakan Bung Hatta di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 2 September 1948, dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung diantara Dua Karang”. Bung Hatta kemudian memberikan pertanyaan bahwa apakah bangsa Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan negara hanya harus  memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika? Apakah tidak ada pendirian lain yang bisa diambil dalam mengejar cita-cita bangsa Indonesia? [12]
Pertanyaan itu kemudian dijawab oleh Bung Hatta sendiri, bahwa pendirian yang harus diambil agar bangsa Indonesia tidak menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap sendiri, berhak memperjuangkan tujuan sendiri dimana Indonesia merdeka sepenuhnya. Hal ini merupakan dasar yang fundamental dari prinsip politik bebas aktif Indonesia. Dasar perjuangan yang telah menjadi semboyan yaitu percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri, tetapi tidak berarti menutup diri dari dunia luar. Pidato Bung Hatta yang berjudul “Mendayung diantara Dua Karang” memiliki makna akan prinsip politik bebas aktif. Mendayung sama artinya dengan upaya aktif dan diantara dua karang adalah bebas tidak terikat oleh dua kekuatan adikuasa yang ada.[13]
Sementara itu tujuan dalam prinsip politik bebas aktif sesungguhnya adalah mencapai kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, segala siasat ke dalam dan ke luar disusun untuk mencapai tujuan tersebut. Bung Hatta kemudian memberikan gambaran pokok-pokok tujuan politik luar negeri Indonesia, diantaranya sebagai berikut : 1) Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara, 2) Memperoleh produk dari luar negeri yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat, apabila produk tersebut belum bisa dihasilkan sendiri, 3) Perdamaian internasional, karena hanya dalam perdamaian Indonesia dapat memperoleh syarat yang diperlukan dalam memperbesar kemakmuran rakyat, dan 4) Persaudaraan segala bangsa sebagai pelaksanaan dari cita-cita yang tersimpul dalam dasar negara Pancasila.[14]
Referensi
Aman, Pemikiran Hatta tentang Demokrasi, Kebangsaan dan Hak Asasi Manusia, diakses dari : http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Dr.%20Aman,%20M.Pd./B-3.JURNAL.pdf, diakses pada 30 Juni 2015
Darmayana, Hiski, Nasionalisme ala Soekarno, diakses dari : http://www.berdikarionline.com/opini/20120416/nasionalisme-ala-soekarno.html, diakses pada 29 Juni 2015
Kartasasmita, Ginandjar, Kemandirian dan Keadilan sebagai Paradigma Pembangunan, diakses dari : http://www.ginandjar.com/public/Kemandirian.pdf, diakses pada 30 Juni 2015
Maliki, Noval Kun, Konsep Ekonomi Sang Proklamator, diakses dari : http://komunitasbambu.com/blog/2014/07/24/konsep-ekonomi-sang-proklamator/, diakses pada 29 Juni 2015
Karakter Pancasila Manifestasi Pidato Trisakti, diakses dari : http://www.pusakaindonesia.org/karakter-pancasila-manifestasi-pidato-trisakti/, diakses pada 29 Juni 2015

 


[1] Ginandjar Kartasasmita, Kemandirian dan Keadilan sebagai Paradigma Pembangunan, diakses dari : http://www.ginandjar.com/public/Kemandirian.pdf, diakses pada 30 Juni 2015
[2] Ginandjar Kartasasmita, Kemandirian dan Keadilan sebagai Paradigma Pembangunan, diakses dari : http://www.ginandjar.com/public/Kemandirian.pdf, diakses pada 30 Juni 2015
[3] Ginandjar Kartasasmita, Kemandirian dan Keadilan sebagai Paradigma Pembangunan, diakses dari : http://www.ginandjar.com/public/Kemandirian.pdf, diakses pada 30 Juni 2015
[4] Ginandjar Kartasasmita, Kemandirian dan Keadilan sebagai Paradigma Pembangunan, diakses dari : http://www.ginandjar.com/public/Kemandirian.pdf, diakses pada 30 Juni 2015
[5] Karakter Pancasila Manifestasi Pidato Trisakti, diakses dari : http://www.pusakaindonesia.org/karakter-pancasila-manifestasi-pidato-trisakti/, diakses pada 29 Juni 2015
[6] Karakter Pancasila Manifestasi Pidato Trisakti, diakses dari : http://www.pusakaindonesia.org/karakter-pancasila-manifestasi-pidato-trisakti/, diakses pada 29 Juni 2015
[7] Karakter Pancasila Manifestasi Pidato Trisakti, diakses dari : http://www.pusakaindonesia.org/karakter-pancasila-manifestasi-pidato-trisakti/, diakses pada 29 Juni 2015
[8] Hiski Darmayana, Nasionalisme ala Soekarno, diakses dari : http://www.berdikarionline.com/opini/20120416/nasionalisme-ala-soekarno.html, diakses pada 29 Juni 2015
[9] Noval Kun Maliki, Konsep Ekonomi Sang Proklamator, diakses dari : http://komunitasbambu.com/blog/2014/07/24/konsep-ekonomi-sang-proklamator/, diakses pada 29 Juni 2015
[10] Noval Kun Maliki, Konsep Ekonomi Sang Proklamator, diakses dari : http://komunitasbambu.com/blog/2014/07/24/konsep-ekonomi-sang-proklamator/, diakses pada 29 Juni 2015
[11] Noval Kun Maliki, Konsep Ekonomi Sang Proklamator, diakses dari : http://komunitasbambu.com/blog/2014/07/24/konsep-ekonomi-sang-proklamator/, diakses pada 29 Juni 2015
[12] Aman, Pemikiran Hatta tentang Demokrasi, Kebangsaan dan Hak Asasi Manusia, diakses dari : http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Dr.%20Aman,%20M.Pd./B-3.JURNAL.pdf, diakses pada 30 Juni 2015
[13] Aman, Pemikiran Hatta tentang Demokrasi, Kebangsaan dan Hak Asasi Manusia, diakses dari : http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Dr.%20Aman,%20M.Pd./B-3.JURNAL.pdf, diakses pada 30 Juni 2015
[14] Aman, Pemikiran Hatta tentang Demokrasi, Kebangsaan dan Hak Asasi Manusia, diakses dari : http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Dr.%20Aman,%20M.Pd./B-3.JURNAL.pdf, diakses pada 30 Juni 2015

Pin It on Pinterest

Shares
Share This