sumber gambar : www.suarajakarta.co
Adhe Nuansa Wibisono, S.IP, M.Si
Direktur Center of Leadership Studies
Sekolah Kepemimpinan Bangsa

Bangsa dan Komunitas Terbayang
Bangsa (nation) dan paham kebangsaan (nasionalisme) merupakan salah satu unsur penting yang berpengaruh dalam perjuangan politik dan kemerdekaan Indonesia. Semangat nasionalisme Indonesia memiliki kekhasan dan keunikannya sendiri jika dibandingkan dengan fenomena asal munculnya nasionalisme dalam konteks negara-negara Westphalian. Jika negara-negara Westphalian di Eropa menjadikan berbagai suku bangsa yang ada di Eropa sebagai dasar dalam pembentukan negara-bangsa (nation-state), sedangkan dalam konteks pembentukan Indonesia hal ini muncul dengan nada yang berbeda. Berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia tidak kemudian menjadikan dasar kesukuan sebagai dasar pembentukan negara, tetapi lebih kepada perasaan kesamaan nasib dan keinginan bersama untuk berjuang melawan kolonialisme. Sehingga beragam suku bangsa itu kemudian menjadikanya dirinya sebagai fundamen pembentukan entitas kebangsaan bersama yang bernama “Indonesia”.
Ekspresi kerelaan dan kepedulian kepada tanah air tersebut tergambar dalam pernyataan Abdul Muis, seorang tokoh pimpinan Sarekat Islam, yang pada tahun 1917 telah mengartikan nasionalisme sebagai perasaan cinta kepada bangsa dan tanah air, yang diungkapkannya sebagai berikut, “Kalau kita mengingat akan nasib buruknya tanah air dan bangsa kita, yang beratus tahun selalu berada dalam kungkungan orang lain saja, maka berdebarlah dada, timbullah suatu perasaan yang menggoyang segala urat saraf kita, perasahaan kasihan kepada bangsa dan tanah air itu (Sinar Djawa, 25 Oktober 1917).[1]
Benedict Anderson, seorang sosiolog dan Indonesianis terkemuka memberikan penjelasan mengenai konsep kebangsaan Indonesia yang terdiri dari bersatunya beragam suku bangsa nusantara yang disebutnya sebagai komunitas terbayang. Anderson mengatakan bahwa bangsa adalah suatu komunitas politik yang terbatas dan berdaulat yang dibayangkan (imagined communities). Komunitas politik itu dikatakan sebagai imagined communities sebab suatu komunitas tidak mungkin mengenal seluruh warganya, tidak mungkin saling bertemu, atau saling mendengar. Akan tetapi, mereka memiliki gambaran atau bayangan yang sama tentang komunitas mereka. Suatu bangsa dapat terbentuk, jika sejumlah warga dalam suatu komunitas mau menetapkan diri sebagai suatu bangsa yang mereka angankan atau bayangkan (Benedict Anderson, 1983: 15).[2]
Menurut Drs. Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, tanah air dalam pikiran Bung Hatta bukanlah sepotong geografi dan sederet masa lalu, tetapi adalah sesuatu yang berkembang dengan kerja. Pada tahun 1928 ketika berumur 26 tahun dan masih menjadi mahasiswa di Rotterdam, Bung Hatta ditangkap pemerintah Belanda karena kegiatan politik. Ia dibawa ke depan Mahkamah di Den Haag. Dengan yakin Bung Hatta membacakan pledoi dengan kalimat penutup, “Hanya satu tanah air yang dapat disebut tanah airku, ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku”.
Mengambil inti sari pemikiran Bung Hatta terkait kebangsaan, bangsa merupakan kumpulan manusia yang tersusun sekaligus terbelah. Bangsa Indonesia berhasil disusun dari keragaman suku, agama, dan adat-istiadat. Namun, pada aspek lain, masyarakat Indonesia itu terbelah dalam kelas-kelas. Dengan demikian, bangsa bukanlah sebuah komunitas yang stabil. Oleh karena itu, kebangsaan Indonesia yang harus dibangun adalah kebangsaan yang bertumpu dan berpihak kepada rakyat Indonesia. Demikian juga Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengatakan bahwa bangsa adalah sebuah konstruksi yang dihasilkan oleh sebuah visi yang diperjuangkan, Dalam pengertian politik ini, prinsip-prinsip utama dalam nasionalisme adalah kebebasan, kesatuan, keadilan, dan kepribadian yang menjadi orientasi kehidupan kolektif suatu kelompok untuk mencapai tujuan politik, yaitu negara nasional (Sartono Kartodirdjo, 1993: 3).[3]
Sementara itu terdapat penjelasan lain mengenai nasionalisme seperti yang disampaikan oleh Hasan Al Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimun, mengenai nasionalisme yang sinergis dan tidak bertentangan dengan semangat keislaman. Hasan Al Banna menyebutkan bahwa jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah nasionalisme kerinduan yaitu cinta tanah air, keberpihakan dan kerinduan terhadapnya, maka hal itu sudah tertanam dalam fitrah manusia seperti yang dianjurkan oleh Islam. Jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah nasionalisme kehormatan dan kebebasan dimana keharusan berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman imperialisme, menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera bangsa. Ikhwanul Muslimun menyepakati hal tersebut seperti yang telah diperintahkan oleh Islam setegas-tegasnya.
Hasan Al Banna kemudian menyebutkan  jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah nasionalisme kemasyarakatan yaitu memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warga negara untuk mencapai kepentingan bersama, maka Ikhwanul Muslimun juga menyepakati hal tersebut. Islam bahkan menganggap itu sebagai kewajiban, seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW, “Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang saling bersaudara”. Jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah nasionalisme pembebasan dengan membebaskan negeri-negeri Muslim dari cengkeraman kolonialisme, maka hal tersebut juga diwajibkan dalam Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Dan perangilah mereka itu, sehingga tak ada fitnah lagi dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah (QS Al Baqarah : 193).
Senada dengan penjelasan Hasan Al Banna mengenai nasionalisme keislaman, Bung Karno di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1965 : 7), menegaskan bahwa Muslim yang sungguh-sungguh menjalankan keislamannya, baik orang Arab, India, Mesir atau orang dari manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula ia bekerja untuk keselamatan Indonesia, “Dimana-mana orang Islam bertempat, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri dan rakyatnya”. Pandangan seperti inilah yang oleh Bung Karno disebut sebagai intisari dari nasionalisme Islam.[4]
Nasionalisme Indonesia
Kemudian seperti apakah nasionalisme Indonesia itu, apakah nasionalisme Indonesia ini memiliki persamaan dengan nasionalisme Barat ala negara-negara Westphalian atau nasionalisme Indonesia memiliki penerjemahannya sendiri? Berdasarkan kepada pendapat Bung Karno mengenai nasionalisme Indonesia, ia mengatakan bahwa nasionalismenya adalah nasionalisme yang berasal dari Timur yang berbeda dengan nasionalisme Barat. Ia mengkritik nasionalisme Barat yang cenderung bersifat chauvinis, ia mengatakan bahwa nasionalismenya adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan. Bung Karno mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan nasionalisme Timur, yaitu suatu bentuk nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai wahyu dan menjalankan rasa hidupya itu sebagai sebuah bakti. nasionalisme Timur juga memberikan tempat untuk bangsa-bangsa lain untuk hidup berdampingan dengan rukun. Adapun yang menjadi keutamaan dari nasionalisme Timur adalah menyamakan rasa dengan rasa kemanusiaan.[5]
Dalam sebuah pidato di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indoesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Bung Karno memaparkan pandangannya tentang filosofi dan dasar-dasar bagi pendirian Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Bung Karno menyebutkan bahwa negara Indonesia yang akan dibangun haruslah “Nationale Staat”, sebuah negara nasional bukan negara berdasarkan agama atau suku bangsa tertentu, “Saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat. Satu nationale staatIndonesia bukan berarti staat yang sempit”.
Bung Karno menyadari bahwa negara Indonesia yang akan dibangun memiliki keragaman suku bangsa, agama, bahasa, ras dan juga latar belakang politik yang berbeda. Karena itulah Bung Karno  menekankan pentingnya Indonesia Merdeka sebagai suatu “Nationale Staat” yang dapat mencakup semua aliran, golongan, suku, agama yang ada di nusantara tersebut. Bung Karno menyatakan, “bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan ‘le desire d’etre ensemble’ di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, Madura, Yogya, Sunda, atau Bugis. Tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian, seluruhnya! Karena antara manusia 70 juta orang ini sudah ada ‘le desire d’etre ensemble’ sudah terjadi Charaktergemeinschaft. Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70 juta tetapi telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!”.
Bung Karno juga menyatakan bahwa gagasan Ernest Renan yang menyatakan bahwa dasar bagi bangunan bangsa adalah adanya rasa keinginan untuk bersatu. Sementara itu gagasan Otto Bauer yang menyatakan bahwa yang menjadikan individu-individu bisa bersatu menjadi sebuah bangsa adalah karena adanya rasa persamaan nasib tidaklah cukup untuk mendirikan suatu bangsa. Melainkan juga harus ada persatuan antara manusia dengan tanah tempat manusia tersebut hidup dan berpijak. Antara tanah dan manusia, menurut Bung Karno, tidak dapat dipisahkan.
Bung Karno mengatakan, “Menurut Renan syarat bangsa ‘le desir de’etre ensemble’, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu. Kalau kita lihat definisi Otto Bauer, di dalam bukunya ‘Die Nationalitatenfrage’, di situ ditanyakan ‘What is eine Nation’ dan jawabnya ialah ‘Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib). Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya. Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan, tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya  memikirkan Gemeinschaft-nya dan perasaan orangnya. I’ame et le desir. Mereka hanya mengingat bumi, bumi yang didiami manusia. Apakah tempat itu? Tempat itu adalah tanah air, tanah air itu adalah satu kesatuan.
Satu hal yang juga penting adalah bahwa nasionalisme Indonesia tidaklah sama dengan nasionalisme yang lahir dan berkembang di Eropa. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (1926), Bung Karno menjelaskan karakter dari nasionalisme Eropa, “Nasionalisme Eropa ialah suatu nasionalisme yang bersifat menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, dan nasionalisme semacam itu akhirnya pastilah binasa”. Perbedaan antara nasionalisme Indonesia dengan nasionalisme Eropa cukup signifikan, dimana kelahiran nasionalisme Indonesia berkaitan dengan kondisi nusantara yang saat itu masih menjadi negara jajahan. Sehingga nasionalisme Indonesia muncul sebagai instrumen perlawanan terhadap pihak kolonial. Dapat disimpulkan bahwa kemunculan nasionalisme Indonesia adalah sebagai landasan perjuangan politik disebabkan oleh kondisi keterjajahan bangsa Indonesia oleh kekuatan kolonial.[6]
Nasionalisme Indonesia dibutuhkan untuk menjadi “lem perekat” bagi seluruh komponen bangsa dalam rangka melepaskan diri dari genggaman penjajahan asing. Dapat dikatakan bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang lahir dari rahim masyarakat yang terjajah, yang menderita karena penindasan kolonial. Dengan demikian nasionalisme yang timbul adalah nasionalisme yang bersifat anti penindasan dan anti penjajahan. Dengan sendirinya nasionalisme yang berkembang juga merupakan nasionalisme yang berkemanusiaan. Hal ini sangat berbeda dengan nasionalisme yang lahir di Eropa, sejarah kelahiran nasionalisme Eropa terkait erat dengan kepentingan kaum merkantilis-pedagang Eropa untuk mencari bahan baku di luar Eropa bagi kepentingan ekonomi mereka. Semboyan Gold, Gospel dan Glorymencerminkan nafsu dan kepentingan kolonial tersebut.[7]
Bung Karno juga menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia merupakan nasionalisme yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan borjuis atau pedagang seperti halnya nasionalisme Eropa. Oleh karena itu, nasionalisme Indonesia haruslah beriringan dengan pemberlakuan sistem ekonomi-politik yang memberi ruang kepada rakyat kebanyakan (marhaen) untuk mengendalikan sumber-sumber ekonomi strategis yang akan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Sistem semacam ini yang oleh Bung Karno disebut dengan “Sosio-Demokrasi” yang tidak boleh dipisahkan dari “Sosio-Nasionalisme” sebagai paham kebangsaan Indonesia. Kedua konsep ini ditambah dengan paham Ketuhanan yang kemudian diramu oleh Bung Karno menjadi Marhaenisme.[8]
Sumpah Pemuda dan Identitas Indonesia
Proses pembentukan identitas kebangsaan Indonesia kemudian mulai mendapatkan momentumnya pada awal abad ke 20, ketika berbagai organisasi mahasiswa  dan kepemudaan baik di Hindia maupun di luar negeri mulai mendefinisikan apa itu “Indonesia”. Titik pencarian kode kebangsaan itu mencapai puncaknya pada Momentum Sumpah Pemuda 1928, dimana para pemuda Indonesia akhirnya menyepakati tiga hal mendasar identitas Indonesia, yaitu : tanah air Indonesia, bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia.
Yudi Latif menjelaskan bahwa upaya pembentukan identitas kolektif kebangsaan Indonesia dapat ditelusuri dari kedatangan Tiga Serangkai pemimpin Indische Partij, yaitu Douwes Dekker, Suwardi Surjaningrat dan Tjipto Mangunkusumo sebagai tahanan politik ke Belanda pada tahun 1913. Kedatangan para tokoh ini menginspirasi beberapa aktivis Indische Vereeniging, perhimpunan organisasi mahasiswa Hindia di Belanda, untuk mengubah arah haluan perhimpunan ini bergeser dari orientasi kultural ke politik. Pada 1916, perhimpunan ini mulai menerbitkan majalah Hindia Poetra sebagai sarana untuk memperdebatkan isu-isu politik di Hindia.[9]
Untuk menyatukan berbagai unsur pergerakan, mereka memandang perlu adanya konsepsi kebangsaan baru yang bisa melingkupi berbagai perbedaan agama, etnis dan ideologi. Konsepsi kebangsaan baru ini memerlukan kode baru yang terbebas dari bias kolonial, sebagai mercusuar ke arah mana ideal-ideal kolektif diarahkan. Dalam semangat inilah para aktivis Indische Vereeniging menyatakan bahwa istilah “East Indies” (Hindia Timur) tidak lagi tepat, karena istilah tersebut merupakan konstruksi kolonial. Usaha menemukan kode kebangsaan baru ini mendapatkan inspirasi dari penggunaan istilah “Indonesia” dalam studi etnologi dan antropologi untuk menamai suatu gugus geobudaya di sepanjang kepulauan India (Indu-nesians) sebagai suatu entitas tersendiri yang dibedakan dari India daratan.[10]
Yudi Latif kemudian menyebutkan bahwa istilah “Indonesia” pertama kali diperkenalkan dalam bentuk “Indu-nesians” oleh seorang sarjana Inggris, George Windsor Earl pada tahun 1850. Istilah ini pada mulanya merupakan istilah etnografis untuk melukiskan suatu rumpun ras Polinesia yang mendiami Kepulauan India, atau ras kulit sawo matang dari kepulauan India. Selanjutnya seorang etnolog Belanda, Adolf Bastian, dalam karyanya pada tahun 1884-1894, dalam artian geografis maupun kultural mencakup orang-orang yang berbagi kesamaan bahasa dan budaya di sepanjang gugus kepulauan India, mulai dari Madagaskar di Barat, Nusantara di Asia Tenggara, hingga Formosa (Taiwan) di Utara (Elson, 2008 : 1-4).
Istilah Indonesia kemudian direformulasi secara spesifik oleh para aktivis mahasiswa dan inteligensia di Belanda dan Tanah Air untuk merujuk pada konteks politik-spasial tertentu dari Hindia dan memberikan sebuah arah politik baru bagi gerakan-gerakan nasionalis. Sesuai dengan pernyataan Muhammad Hatta, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya, tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.
Untuk menegaskan adanya perubahan dalam kesadaran itu, Indische Vereeniging, mengubah namanya menjadi Indonesische Vereenigingpada tahun 1922. Hal ini merepesentasikan keberadaan basis bagi pembentukan identitas kolektif dan permulaan dari proses penciptaan suatu bangsa. Para mahasiswa Hindia kemudian melihat bahwa menggunakan ungkapan Belanda untuk sebuah nama perhimpunan sekarang tidak lagi cocok dengan identitas Indonesia Baru. Dalam mengekspresikan semangat nasionalisme ini, pada tahun 1924, Indonesische Vereeniging sekali lagi diubah namanya dengan menggunakan bahasa Indonesia/Melayu, “Perhimpunan Indonesia”, dan majalahnya, Hindia Poetra, menjadi Indonesia Merdeka.
Pada awal abad ke-20 dari kelas menengah pribumi di wilayah Hindia Belanda  kemudian memunculkan golongan intelektual baru yaitu kaum terpelajar dan kaum priyayi. Menurut W.F. Wertheim, kelas menengah ini memiliki nasionalisme yang lebih konsisten, dibandingkan dengan kelompok kecil pedagang maupun kelompok intelektual yang bekerja di pemerintahan. Kelas menengah ini adalah kelompok perkotaan yang berasing dalam bidang sosial dan ekonomi dengan berbagai kelompok sosial yang ada. Perjuangan kompetitif kelas menengah ini memperlihatkan bentuk nasionalisme dikarenakan kompetitor mereka, yaitu orang Cina dan Eropa, menekankan karakteristik sendiri dalam perilaku sosial mereka.[11]
Melalui inisiatif kelas menengah atau intelektual inilah kemudian muncul berbagai organiasi pergerakan yang semuanya memiliki satu tujuan yaitu ingin merdeka atau membebaskan Indonesia dari belenggu kolonialisme. Diantara beberapa organisasi tersebut adalah Indische Vereninging (1908) yang berubah menjadi Indonesische Vereninging (1922) dan kemudian berubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (1925), Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), Indische Partij(1912), Taman Siswa (1922), Partai Nasional Indonesia (1927), Partai Indonesia (1931), Pendidikan Nasional Indonesia (1932) dan lainnya.[12]
Selain organisasi yang berakar dari kelas menengah dan kaum intelektual tersebut, dalam merespon berbagai perubahan sosial-politik yang terjadi di Hindia Belanda berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan yang masih bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond(1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaoem Betawi. Organisasi-organisasi kepemudaan ini masih bersifat kedaerahan dan kelompok khusus. Kemudian organisasi-organisasi ini mengadakan pertemuan dalam Kongres Pemuda I pada tahun 1926 yang kemudian menghasilkan satu organisasi baru yang bernama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), organisasi kepemudaan yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia.[13]
Identitas kebangsaan dan nasionalisme Indonesia kemudian semakin menguat dengan dilaksanakannya Kongres Pemuda II pada tanggal 27-28 Oktober 1928 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Kongres ini menghasilkan Sumpah Pemuda yang isinya adalah : 1) Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, 2) Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, 3) Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.[14]   
Yudi Latif (Negara Paripurna : 2011) menyebut Sumpah Pemuda sebagai monumen puncak dari usaha intelektual untuk mencari sintesis dari keragaman keindonesiaan. Melalui Sumpah Pemuda, kaum muda Indonesia berusaha menerobos batas-batas sentimen etno-religius (etno-nationalism) kepada identitas baru berdasarkan konsepsi kewargaan yang menjalin solidaritas  baru atas dasar kesamaan tumpah darah, bangsa dan bahasa  persatuan (civic nationalism). Melalui momen Sumpah Pemuda inilah proses pembentukan identitas kebangsaan dan nasionalisme Indonesia mencapai sintesanya.
Referensi :
Arizal, Imam S., Bung Karno, Nasionalisme Islam dan Negara Pancasila, NU Online, 7 Juni 2011, diakses ari : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,4-id,32473-lang,id-c,kolom-t,Bung+Karno++Nasionalisme+Islam+dan+Negara+Pancasila-.phpx, diakses pada 29 Juni 2015
Darmayana, Hiski, Nasionalisme ala Soekarno, Berdikari Online, diakses dari : http://www.berdikarionline.com/opini/20120416/nasionalisme-ala-soekarno.html, diakses pada 29 Juni 2015
Latif, Yudi, Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Miftahuddin, Nasionalisme Indonesia : Nasionalisme Pancasila, diakses dari : http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Miftahuddin,%20M.Hum./Artikel%20Nasionalism%20Pancasila.pdf, hal 8-9, diakses pada 29 Juni 2015
Rahmat, Sumpah Pemuda : Antara Idealisme dan Realisme Pendidikan Politik, Jurnal Kependidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 1, No. 1, Februari-Juli 2003, diakses dari : http://digilib.uin-suka.ac.id/8581/1/RAHMAT%20SUMPAH%20PEMUDA%20ANTARA%20IDEALISME%20DAN%20REALISME%20PENDIDIKAN%20POLITIK.pdf, diakses pada 5 Maret 2015
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1, (Jakarta : Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965)
Wertheim, W.F., Masyarakat Indonesia dalam Transisisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Widodo, Sutejo K., Memaknai Sumpah Pemuda di Era Reformasi, Jurnal Sejarah – Universitas Diponegoro, diakses dari : http://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/4604/4185, diakses pada 29 Juni 2015
Yuliati, Dewi, Menyibak Fajar Nasionalisme Indonesia, Makalah Sarasehan Sejarah Regional Daerah – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, diakses dari : http://core.ac.uk/download/pdf/11718891.pdf, hal 1, diakses pada 29 Juni 2015



[1] Dewi Yuliati, Menyibak Fajar Nasionalisme Indonesia, Makalah Sarasehan Sejarah Regional Daerah – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, diakses dari : http://core.ac.uk/download/pdf/11718891.pdf, hal 1, diakses pada 29 Juni 2015
[2] Dewi Yuliati, Menyibak Fajar Nasionalisme Indonesia, Makalah Sarasehan Sejarah Regional Daerah – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, diakses dari : http://core.ac.uk/download/pdf/11718891.pdf, hal 1, diakses pada 29 Juni 2015
[3] Dewi Yuliati, Menyibak Fajar Nasionalisme Indonesia, Makalah Sarasehan Sejarah Regional Daerah – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, diakses dari : http://core.ac.uk/download/pdf/11718891.pdf, hal 2, diakses pada 29 Juni 2015
[4] Imam S. Arizal, Bung Karno, Nasionalisme Islam dan Negara Pancasila, NU Online, 7 Juni 2011, diakses ari : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,4-id,32473-lang,id-c,kolom-t,Bung+Karno++Nasionalisme+Islam+dan+Negara+Pancasila-.phpx, diakses pada 29 Juni 2015
[5] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1, (Jakarta : Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965), hal 112
[6] Hiski Darmayana, Nasionalisme ala Soekarno,Berdikari Online, diakses dari : http://www.berdikarionline.com/opini/20120416/nasionalisme-ala-soekarno.html, diakses pada 29 Juni 2015
[7] Hiski Darmayana, Nasionalisme ala Soekarno, Berdikari Online, diakses dari : http://www.berdikarionline.com/opini/20120416/nasionalisme-ala-soekarno.html, diakses pada 29 Juni 2015
[8] Hiski Darmayana, Nasionalisme ala Soekarno,Berdikari Online, diakses dari : http://www.berdikarionline.com/opini/20120416/nasionalisme-ala-soekarno.html, diakses pada 29 Juni 2015
[9] Yudi Latif, Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal 311
[10] Yudi Latif, Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal 312
[11] W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal 261
[12] Miftahuddin, Nasionalisme Indonesia : Nasionalisme Pancasila, diakses dari : http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Miftahuddin,%20M.Hum./Artikel%20Nasionalism%20Pancasila.pdf, hal 8-9, diakses pada 29 Juni 2015
[13] Sutejo K. Widodo, Memaknai Sumpah Pemuda di Era Reformasi, Jurnal SejarahUniversitas Diponegoro, diakses dari : http://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/4604/4185, hal 2-3, diakses pada 29 Juni 2015
[14] Rahmat, Sumpah Pemuda : Antara Idealisme dan Realisme Pendidikan Politik, Jurnal Kependidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 1, No. 1, Februari-Juli 2003, hal 61, diakses dari : http://digilib.uin-suka.ac.id/8581/1/RAHMAT%20SUMPAH%20PEMUDA%20ANTARA%20IDEALISME%20DAN%20REALISME%20PENDIDIKAN%20POLITIK.pdf, diakses pada 5 Maret 2015 

Pin It on Pinterest

Shares
Share This