sumber : www.britishmuseum.org |
Adhe Nuansa Wibisono, S.IP, M.Si
Direktur Center of Leadership Studies
Sekolah Kepemimpinan Bangsa
Makna Islam
Agama Islam memiliki keistimewaan sejak dari namanya, berbeda dengan agama lain, nama agama ini bukan berasal dari nama pendirinya atau nama tempat penyebarannya. Nama Islam menunjukkan sikap dan sifat pemeluknya terhadap Allah, yang memberi nama Islam juga buka seorang manusia atau kelompok masyarakat, tetapi Allah SWT, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Islam berasal dari kata “salima yuslimu istislam” yang berarti tunduk patuh, dan juga berasal dari kata “yaslamu salaam” yang berarti selamat, sejahtera dan kedamaian. Menurut kaidah Bahasa Arab, turunan dari kata Islam dapat mengandung beberapa pengertian berikut : islamul wajh – ikhlas menyerahkan diri kepada Allah (QS An-Nisa : 125), istislama – tunduk secara total kepada Allah (QS Ali Imran : 83), salaamahatau salim – suci dan bersih (QS Asy-Syu’araa : 89) , salaam – selamat sejahtera (QS Al-An’am : 54), dan silm – tenang dan damai (QS Muhammad : 35).[1]
Sementara sebagai suatu istilah, Islam memiliki arti tunduk dan menerima segala perintah dan larangan Allah yang terdapat dalam wahyu yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul. Manusia yang menerima ajaran Islam kemudian disebut sebagai Muslim. Seorang Muslim mengikuti ajaran Islam secara total dan perbuatannya membawa kedamaian dan keselamatan bagi manusia. Muslim terikat untuk mengimani, menghayati dan mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah. Kalimatul Islam mengandung pengertian dan prinsip-prinsip yang dapat didefinisikan secara terpisah dan bila dipahami secara menyeluruh merupakan pengertian yang utuh. Secara sederhana pengertian mengenai Islam dapat diturunkan kepada enam hal, yaitu : 1) Islam adalah ketundukan, 2) Islam adalah wahyu Allah, 3) Islam adalah agama para Nabi dan Rasul, 4) Islam adalah hukum Allah di dalam Al Qur’an dan Sunnah, 5) Islam adalah jalan Allah yang lurus, dan 6) Islam pembawa keselamatan dunia dan akhirat.
1. Islam adalah Ketundukan
Allah menciptakan alam semesta kemudian menetapkan manusia sebagai hamba-Nya yang paling besar tanggung jawabnya di muka bumi. Manusia berinteraksi dengan sesamanya, dengan alam semesta di sekitarnya, kemudian berusaha mencari jalan untuk kembali kepada Penciptanya. Tatkala salah berinteraksi dengan Allah, kebanyakan manusia beranggapan alam sebagai Tuhannya sehingga manusia menyembah sesuatu dari alam. Ada yang menduga-duga sehingga banyak di antara manusia yang tersesat. Ajaran yang benar adalah ikhlas berserah diri kepada Pencipta alam yang kepada-Nya alam tunduk patuh berserah diri (QS An Nisa : 125). Maka Islam identik dengan ketundukan kepada sunnatullah yang terdapat di alam semesta maupun Kitabullah yang tertulis (Al Qur’an).
2. Islam adalah Wahyu Allah
Allah menurunkan Ad-Dien (aturan hidup) kepada manusia agar manusia hidup teratur dan menemukan jalan yang benar menuju Tuhannya. Aturan itu meliputi seluruh bidang kehidupan seperti politik, hukum, sosial, budaya dan sebagainya. Dengan demikian manusia akan tenteram dan damai, hidup rukun, dan bahagia dengan sesamanya dalam naungan ridha Tuhannya (QS Al Baqarah : 38). Karena kebijaksanaan-Nya, Allah tidak menurunkan banyak agama. Allah hanya menurunkan agama Islam, agama selainnya tidak diakui di sisi Allah dan akan merugikan penganutnya di akhirat nanti.
Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian diantara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungannya(QS Ali Imran : 19).
Islam merupakan satu-satunya agama yang bersandar kepada wahyu Allah secara murni. Artinya, seluruh sumber nilai dari nilai agama ini adalah wahyu yang Allah turunkan kepada para Rasul-Nya terdahulu. Setiap Nabi adalah Muslim dan mengajak kepada ajaran Islam. Adapun agama-agama yang lain, seperti Yahudi dan Nasrani, adalah penyimpangan dari ajaran wahyu Tauhid yang dibawa oleh para Nabi tersebut.
3. Islam adalah Agama Para Nabi dan Rasul
Perhatikan kesaksian Alquran berikut ini bahwa Nabi Ibrahim adalah muslim, bukan Yahudi atau pun Nasrani.
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. Ibrahim berkata : “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam” (QS Al Baqarah : 132).
Nabi lain pun mendakwahkan ajaran Islam kepada manusia. Mereka mengajarkan agama sebagaimana yang dibawa Nabi Muhamad SAW. Hanya saja dari segi syariat belum selengkap yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Tetapi ajaran prinsip-prinsip keimanan dan akhlaknya sama. Nabi Muhammad SAW datang menyempurnakan ajaran para Rasul, menghapus syariat yang tidak sesuai dan menggantinya dengan syariat yang baru.
Katakanlah : “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan hanya kepada-Nya lah kami menyerahkan diri”(QS Ali Imran : 84).
Menurut pandangan Al Qur’an, agama Nasrani yang ada sekarang ini adalah penyimpangan dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Isa AS, nama agama ini sesuai dengan nama lokasi tempat pertama dikembangkannya. Isinya jauh dari Kitab Injil yang diajarkan Nabi Isa AS. Agama Yahudi pun telah menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Musa AS. Diberi nama dengan nama salah satu suku Bani Israil, Yahuda. Kitab Suci Taurat telah dicampur aduk dengan pemikiran para pendeta Yahudi dan ajaran Tauhid telah ditinggalkan.
4. Islam adalah Hukum Allah di dalam Alquran dan Sunnah
Jika ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan islam hendaknya melihat Kitabullah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Keduanya menjadi sumber nilai dan sumber hukum ajaran Islam. Islam tidak dapat dilihat pada perilaku penganut-penganutnya, kecuali pada pribadi Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat beliau. Nabi Muhammad SAW bersifat ma’shum, terpelihara dari kesalahan, dalam mengamalkan Islam. Beliau membangun masyarakat Islam yang terdiri dari para sahabat yang langsung terkontrol perilakunya oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi walaupun para sahabat Nabi tidaklah ma’shumsebagaimana Nabi, tetapi mereka istimewa karena merupakan pribadi yang dididik langsung oleh Rasulullah. Islam adalah akidah dan ibadah, tanah air dan penduduk, rohani dan amal, Al Qur’an dan pedang. Pemahaman seperti ini yang telah dibuktikan dalam hidup Rasulullah, para sahabat dan oengikut mereka yang setia sepanjang zaman.
5. Islam adalah Jalan Allah yang Lurus
Islam merupakan satu-satunya pedoman hidup bagi seorang muslim. Baginya tidak ada agama lain yang benar selain Islam. Karena agama ini meruapakan jalan Allah yang lurus yang diberikan kepada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.
Dan bahwa ini adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa (QS Al An’am : 153)
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui(QS Al Jaatsiyah : 18)
6. Islam Pembawa Keselamatan Dunia dan Akhirat
Sebagaimana sifatnya yang bermakna selamat sejahtera, Islam menyelamatkan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Keselamatan dunia adalah kebersihan hati dari noda syirik dan kerusakan jiwa. Sedangkan keselamatan akhirat adalah masuk surga yang disebut sebagai Darussalam.
Allah menyeru manusia ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (QS Yunus : 25)
Setelah melihat definisi mengenai apakah yang dimaksud dengan Islam, kemudian muncul pertanyaan, apakah Islam menjadi sebuah sistem komprehensif yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan manusia? Di atas telah disebutkan bahwa Islam adalah sebuah Ad-Dien, sebuah aturan hidup untuk manusia yang meliputi seluruh bidang kehidupan baik dalam aspek politik, hukum, sosial, budaya dan sebagainya. Dalam konteks ke-Indonesiaan, membahas seberapa jauh Islam dapat mengatur kehidupan manusia kemudian menjadi penting dikarenakan 85 persen dari 240 juta orang penduduk Indonesia beragama Islam. Sehingga membahas Islam bagi Indonesia sama dengan membahas keberlangsungan hidup mayoritas penduduknya.
Kesempurnaan Sistem Islam
Syumuliyah berasal dari kata dasar syamiil yang artinya sempurna dan menyeluruh. Syumuliyatul Islamberarti kesempurnaan Islam mencakup semuanya secara menyeluruh. Artinya ajaran ini mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. Dimulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara. Mulai dari permasalahan sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, lingkungan, pendidikan hingga kebudayaan. Mencakup seluruh etnis manusia, dari kepercayaan, sistem kebudayaan hingga akhlak. Dari Nabi Adam AS hingga manusia terakhir, dari sejak kita bangun tidur hingga kita tidur kembali, dari kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat. Sehingga cakupan Islam dapat kita lihat dari beberapa dimensi mendasar yaitu dimensi waktu, dimensi demografis, dimensi geografis dan dimensi kehidupan.
Diantara berbagai pendekatan yang ada mengenai kesempurnaan sistem Islam, satu hal yang paling penting menurut penulis adalah melalui aspek pendekatan “Maqashid Syariah”. Kata al-Maqashid merupakan bentuk plural dari kata al-maqshid dalam Bahasa Arab yang berarti tujuan, sasaran, hal yang diminati atau tujuan akhir. Dalam istilah syariat, al-Maqashidmempunyai beberapa makna seperti al-hadf(tujuan), al-garad (sasaran), al-mathlub (hal yang diminati), ataupun al-ghayah (tujuan akhir) dari hukum Islam.[2]Sehingga secara sederhana Maqashid Syariah bisa diterjemahkan secara bebas sebagai “tujuan dan sasaran dari diturunkannya Syariah Islam”. Para ulama klasik mengklasifikasikan al-Maqashid lagi menjadi 5 tingkatan, yaitu : 1) Hifz al-Dien (menjaga agama), 2) Hifz al-Nafs (menjaga jiwa), 3) Hifz al-Mal (menjaga harta), 4) Hifz al-‘Aql (menjaga akal), dan 5) Hifz al-Nasl (pelestarian keturunan). Sebagian ulama menambahkan Hifz al-‘Ird(Pelestarian kehormatan).
Hifz al-Dien, sebagai kebutuhan dasar bagi keberlangsungan kehidupan manusia, khususnya kehidupan akhirat diterapkan dengan cara menjaga prinsip- prinsip pokok dalam beragama seperti prinsip keadilan dan persamaan derajat. Hifz al-Nafs, diaplikasikan dengan cara memberlakukan pelarangan terhadap penyiksaan baik terhadap manusia, hewan, maupun tumbuhan. Hifz al-Aql, diterapkan dengan cara melarang keras minum khamar, narkoba dan sejenisnya. Hifz al-Maal, diberlakukan dengan cara melarang sebab-musabab terjadinya krisis ekonomi seperti monopoli, riba, korupsi, dan kecurangan-kecurangan transaksi lainnya. Begitu juga dengan hifz al-Nasl, ditegakkan dengan cara pelarangan zina, durhaka terhadap orangtua, menelantarkan anak atau tidak berlaku adil kepadanya.
Hasan Al Banna, pendiri Jamaah Ikhwanul Muslimun mengatakan bahwa, “Islam adalah satu sistem yang menyeluruh yang melingkupi semua aspek kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air ataupun kerajaan dan umat. Islam adalah akhlak dan kekuatan ataupun rahmat dan keadilan. Islam adalah kebudayaan dan undang-undang ataupun keilmuan dan kehakiman. Islam juga adalah kebendaan dan harta ataupun bekerja dan kekayaan. Islam adalah jihad dan dakwah ataupun ketentaraan dan pemikiran. Sebagaimana juga Islam adalah akidah yang benar dan ibadah yang sahih, kesemuanya adalah sama pengertiannya pada sisi kita”.[3]
Sementara itu Muhammad Natsir, pemimpin partai Masyumi dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mengatakan, “Agama Islam bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti shalat dan puasa, akan tetapi agama meliputi semua kaedah-kaedah, batas-batas dalam muamalah dan hubungan sosial kemasyarakatan. Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW kepada kaum muslimin bahwa sesungguhnya Allah yang memegang kekuasaan para penguasa (Natsir 1973 : 436-437)”.[4]
Dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang komprehensif. Ajaran Islam tidak mengandung persoalan ibadah saja, tetapi mengandung aspek lain seperti bidang hukum tentang kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian. Bagi Muhammad Natsir, Islam itu bukan sekedar agama tetapi juga merupakan peradaban yang komprehensif. Dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan agama dari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara (Mahendra, 1995: 136). Pandangan Natsir tentang kemestian pendirian sebuah negara ini memiliki kesamaan dengan pemikiran politik Ibnu Taimiyyah yang mengatakan memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agarna. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan (Taimiyyah, 1988: 138).[5]
Persamaan Derajat Manusia
Terkait dengan status keislaman seseorang merupakan sebuah pilihan sadar yang diambil berdasarkan keyakinan dan pengetahuan akan Islam, Abul Ala Al Maududi, pendiri Jamaah Islamiyah di Pakistan mengatakan, “Seseorang tidak dapat menjadi Muslim tanpa memiliki pengetahuan, karena Islam tidak didapatkan karena faktor keturunan tetapi karena pengetahuan. Jika orang yang bersangkutan tidak mengetahui apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, bagaimana ia boleh menyatakan keimanannya kepada ajaran tersebut dan mempraktikannya? Bila ia menyatakan keimanan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian mengenai ajaran tersebut bagaimana ia dapat menjadi seorang Muslim? Seorang Muslim yang sebenarnya adalah seseorang yang tahu makna Islam dan menyatakan keimanan kepada Islam dengan penuh kesadaran”.[6]
Al Maududi juga menyebutkan bahwa Islam tidak hanya dibangsakan kepada umat tertentu melainkan kepada seluruh bangsa di dunia. Islam memiliki maklumat untuk menghiasi seluruh bangsa dengan sifat Islam. Siapa saja yang bersifat dengan dengan sifat ini baik manusia di masa lalu, masa kini, ataupun masa depan maka dia adalah seorang Muslim. Al Maududi kemudian menjelaskan bahwa makna perkataan Islam adalah “tunduk dan patuh kepada perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya tanpa bantahan”.[7]
HOS Tjokroaminoto, Tokoh Pimpinan Sarekat Islam, dalam rumusan program kerja yang disusunnya dalam Kongres Sarekat Islam yang kedua menyatakan, “Agama Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil menjunjung tinggi kepada kuasa negeri. Bahwasanya itulah Islam sebaik-baiknya agama buat mendidik budi pekerti rakyat”.[8]Selain itu Tjokroaminoto juga menyebutkan, “Bagaimana Islam menghapuskan perbedaan karena kebangsaan dan warna kulit, sebagai contoh Nabi Muhammad SAW menaikkan derajat Bilal bin Rabbah, seorang budak kulit hitam dengan mengangkatnya sebagai muadzin”.[9]Tjokroaminoto juga menambahkan bahwa unsur-unsur nilai kemerdekaan (liberty), persamaan (equality) dan persaudaraan (fraternity) juga terdapat dalam kandungan ajaran Islam. Umat Islam tidak diperkenankan untuk takut terhadap segala bentuk apapun kecuali Allah SWT, umat Islam dianjurkan untuk hanya menyembah dan meminta pertolongan kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya.[10]
Tjokroaminoto juga menyatakan bahwa “de Islam is de godsdienst van de armen en de verdrukten”, (Islam adalah agama kaum miskin dan yang ditindas). Terinspirasi oleh pernyataan ini, Sarekat Islam mulai mengadopsi ideologi populis yang memikat jutaan orang untuk bergabung (Kuntowijoyo, 2001 : 10). Pada tahun 1919, Sarekat Islam mengklaim memiliki anggota sebanyak dua juta orang di seluruh Hindia, yang menjadikannya sebagai perhimpunan terbesar yang ada pada masa itu. Yudi Latif menyebutkan bahwa kehadiran Sarekat Islam mewakili aspirasi sosio-politik yang multi-lingual. Sarekat Islam dengan segera menjadi perhimpunan pribumi pertama yang memiliki cakupan seluas Hindia, yang beroperasi dengan ideologi nasionalis yang umum dengan warna agama (Wertheim, 1985 : 85). Tjokroaminoto dalam pidatonya di depan Kongres Nasional SI di Bandung pada 17 Juni 1916 menyatakan, “Kita mencintai bangsa kita dan dengan kekuatan dari agama kita, kita harus berjuang untuk bisa mempersatukan semua atau setidaknya mayoritas rakyat kita”, (Tjokroaminoto,1981 : 14).[11]
Referensi
Referensi
Al Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimun I, (Surakarta : Era Intermedia, 2007)
Al Maududi, Abul ‘Ala. Dasar-Dasar Islam. (Jakarta : Penerbit Pustaka, 1984)
Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto : Hidup dan Perjuangannya. (Jakarta : Bulan Bintang, 1952)
Tjokroaminoto, HOS. Islam dan Sosialisme (Jakarta : Tride, 2003)
Latif, Yudi. Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Nur, Aus Hidayat. Makna Islam. diakses dari : http://www.dakwatuna.com/2007/03/20/127/arti-nama-islam/#axzz3dlBONb1F, diakses pada 22 Juni 2015
Nur, Aus Hidayat. Makna Islam. diakses dari : http://www.dakwatuna.com/2007/03/20/127/arti-nama-islam/#axzz3dlBONb1F, diakses pada 22 Juni 2015
Isra, Yunal. Langkah Awal Memahami Maqashid Syari’ah. diakses dari : http://www.academia.edu/8989207/Langkah_Awal_Memahami_Maqashid_Syariah_Kajian_Diskusi_ISF_UIN_, diakses pada 25 November 2015
[1] Aus Hidayat Nur, Makna Islam, http://www.dakwatuna.com/2007/03/20/127/arti-nama-islam/#axzz3dlBONb1F, diakses pada 22 Juni 2015
[2] Yunal Isra, Langkah Awal Memahami Maqashid Syari’ah Resuman buku Maqashid al- Syari’ah; Dalilun li al- Mubtadi’ karya Jaser Audah
[3] Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimun I, (Surakarta : Era Intermedia, 2007)
[4] Khumaidi, Islam dan Tata Negara : Pemikiran Sosial Politik Muhammad Natsir, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Kontekstualita, Vol. 20 No. 1, Juni 2005, hal 114
[5] Khumaidi, Islam dan Tata Negara : Pemikiran Sosial Politik Muhammad Natsir, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Kontekstualita, Vol. 20 No. 1, Juni 2005, hal 114-115
[6] Abul A’la Al Maududi, Dasar-Dasar Islam, hal 4
[7] Abul A’la Al Maududi, Asas-Asas Islam, hal 4
[8] Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto : Hidup dan Perjuangannya, hal 56
[9] H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, hal 90
[10] H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, hal 29
[11] Yudi Latif, Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal 297-299
Recent Comments