Yudi Latif, Ph.D (Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia)

BOGOR – Sekolah Kepemimpinan Bangsa menyelenggarakan Kajian Kepemimpinan dengan tema “Indonesia Negara Paripurna : Penafsiran Sejarah dan Implementasi Ideologi Pancasila dalam Realitas Kebangsaan Indonesia” pada hari Kamis (30/4/2015) di Aula Teater Dzikir, Bogor, yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai lembaga masyarakat, perguruan tinggi dan sekolah di Indonesia.
Kajian Kepemimpinan kali ini menghadirkan Yudi Latif, Ph.D (Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia) sebagai narasumber utama dan Hisam Mansur (Presiden Eksekutif Komunitas Intelektual Perkotaan) sebagai moderator.
Hisam Mansur membuka diskusi ini dengan pertanyaan, “Pancasila adalah nilai pemersatu dan benteng penjaga ideologi yang telah disusun oleh para founding fathers. Apakah pada kenyataannya Pancasila telah mampu menjadi pemersatu beragam etnik, suku dan agama yang ada di Indonesia saat ini?”.
Dalam pemaparannya Yudi Latif menyebutkan, “Pancasila cepat atau lambat akan menjadi kalimatun sawa, titik temu keragaman yang menyatukan bangsa ini. Pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa harus melalui proses musyawarah”.
“Dalam Piagam Madinah kita dapat melihat masyarakat Madinah dipersatukan dalam satu komunitas bukan karena persamaan darah, teritorial atau agama. Tetapi diikat oleh ketundukan kepada hukum bersama, begitupula dengan Pancasila yang mempersatukan Indonesia”.
Yudi Latif juga berkomentar tentang revolusi mental yang dilihatnya tidak berjalan secara efektif, “Bung Karno pernah berkata, seekor rajawali tidak akan menjadi burung nuri walau dipenjara. Hal ini berbeda dengan orang yang selalu meneriakkan jargon revolusi mental tetapi tidak punya karakter, tetap saja ia akan menjadi burung nuri”.
“Seharusnya revolusi mental jangan hanya menjadi program satu kementerian saja tetapi seharusnya program multisektor. Revolusi mental harus berjejak dari gagasan Pancasila”, tegas Direktur Eksekutif Reform Institute tersebut.
Foto Bersama Tim Yayasan Pendidikan Dompet Dhuafa dengan Yudi Latif
Terkait dengan proyek investasi asing yang diambil pemerintahan Jokowi, Yudi Latif mengatakan bahwa proyek investasi seharusnya tetap dalam kerangka kedaulatan negara, “Bumi, air dan kekayaan alam adalah milik negara. China boleh saja investasi tetapi kedaulatan tetap milik Indonesia, investasi tidak boleh mendikte kedaulatan negara kita”.
“Kondisi yang terjadi saat ini cabang-cabang produksi malah dikuasai oleh orang perorangan digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan asing. Negara telah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya”, tegasnya.
Yudi Latif kembali menegaskan tentang perlunya kemandirian dalam kebijakan pemerintahan Jokowi, “Kita seharusnya bersikap mandiri dalam menentukan kebijakan apapun, bukan merupakan pilihan Washington ataupun pilihan Beijing. Seharusnya pemerintah menjunjung kedaulatan rakyat dan bukannya kedaulatan pemodal asing”.
“Sekarang ini kebijakan ekonomi makin tidak merdeka, pemerintah hanya mengekspor bahan-bahan mentah. Menjual semurah-semurahnya bahan mentah tersebut dan kemudian membeli semahal-mahalnya produk asing”, sesalnya.

“Seharusnya dilakukan inclusive growth, dimana terdapat penyeimbangan antara angka pertumbuhan dengan angka pemerataan. Kemudian diperkuat dengan penguasaan negara dalam sektor penting untuk kemakmuran rakyat”, pesan Yudi Latif menutup diskusi ini.

Pin It on Pinterest

Shares
Share This