Adhe Nuansa Wibisono, S.IP
Kajian Terorisme FISIP UI

Jakarta, Selasa 30 April 2013

 

Sumber Utama : Todd M. Schaefer, “Framing the US Embassy Bombings and September 11 Attacks in African and US Newspapers”, dalam (Editor) Pippa Norris, Montague Kern, and Marion Just, “Framing Terrorism : The News Media, The Government and The Public”, (London : Routledge, 2003)
Rangkuman
Todd Schaefer dalam artikel ini mencoba untuk memperlihatkan framing dalam pemberitaan pengeboman Kedubes AS dan serangan 11 September pada dua sisi media, yaitu media Afrika dan media Amerika Serikat. Pada 7 Agustus 1998, rangkaian truk yang berisikan bom meledak di depan Kedubes Amerika Serikat di Nairobi, Kenya dan Dar es Salaam, Tanzania. Pada serangan di Kenya, sekitar 200 orang tewas (11 orang Amerika dan 190 orang Kenya) dan sekitar 1800 orang mengalami luka-luka akibat ledakan. Sementara di Dar es Salaam sekitar 9 orang meninggal dan terdapat lebih dari 50 orang mengalami luka-luka. Pada 11 September 2001, empat pesawat terbang Amerika mengalami pembajakan yang kemudian menjadi misil yang mengarah pada penghancuran simbol-simbol utama Amerika Serikat : dua pesawat menabrak World Trade Center di New York City, sementara dua lainnya menargetkan Pentagon, dimana satu pesawat jatuh di Pennsylvania setelah para penumpang berupaya untuk melakukan perlawanan.[1]
Empat media suratkabar yang dipilih sebagai bahan analisa pada artikel ini adalah media berskala nasional yang memiliki kualitas pemberitaan yang baik. Suratkabar yang terpilih itu adalah New York Times, Washington Post, Daily Nation dan Daily News. Suratkabar New York Times dan Washington Post adalah dua suratkabar utama di Amerika Serikat, dibaca oleh elite nasional dan masyarakat secara umum. Walaupun suratkabar ini bukan merupakan suratkabar terbesar dalam konteks peredaran di seluruh Amerika, tetapi status dan pembaca elite yang mereka miliki membuat dua suratkabar ini memiliki pengaruh dibandingkan suratkabar lainnya. Sedangkan Daily Nation dan Daily News adalah dua suratkabar berbahasa Inggris terkemuka di Kenya dan Tanzania. Penggunaan bahasa Inggris yang mereka gunakan memberikan mereka sejumlah kecil pembaca dibandingkan suratkabar yang terbit dalam bahasa Swahili, bahasa yang paling banyak digunakan di benua Afrika, walaupun demikian dua suratkabar ini juga memiliki pengaruh terhadap elite nasional di Kenya dan Tanzania.

Ketika menganalisis liputan media, perbandingan studi kasus dapat memperlihatkan adanya bias pemberitaan, framing atau penilaian yang digunakan jurnalis dalam membentuk suatu narasi pemberitaan (Entman 1991). Etnman kemudian menyatakan kasus yang dianalisa tidak harus identik tetapi memiliki potensi pemberitaan yang sebanding (Entman 1989). Hal lain yang berpengaruh dalam liputan pemberitaan mengenai kasus terorisme tergantung kepada lokasi pemberitaan, apabila kasus penyerangan berada di dalam wilayah domestik, maka media lokal / nasional negara tersebut akan memprioritaskan untuk meliput berita tersebut. Ketika terjadi serangan dalam skala lokal, maka publik akan berpersepsi kepada media untuk menampilkan liputan mengenai hal-hal seperti upaya penyelamatan, kondisi korban, tindakan penyelidikan terhadap tersangka, dan juga liputan mengenai opini publik mengenai kasus penyerangan tersebut.[2]
Dalam peliputan berita terorisme yang terjadi di luar negeri, berita luar negeri akan berkompetisi dengan berita domestik yang tengah menjadi sorotan media dan masyarakat. Jika peristiwa serangan terjadi di dalam negeri maka ini akan mendorong seluruh media untuk menjadikan serangan itu sebagai liputan utama, tetapi jika terjadi di negara lain maka dorongan ini tidak akan terjadi. Pada 12 September 2001, suratkabar Daily News menjadikan berita investasi asing sebagai berita utama dan berita 11 September ditempatkan dibawah berita itu. Pada momentum pemberitaan pengeboman Kenya dan Tanzania, skandal Monica Lewinsky mengemuka di Amerika Serikat yang menjadikannya berbagi halaman depan dengan berita pengeboman kedubes AS di Afrika. Pengakuan Presiden Clinton mengenai skandal seks yang menimpanya kemudian menjadi berita utama pada 14 Agustus menggantikan berita pengeboman pada kedua suratkabar Amerika baik di New York Times maupun Washington Post. Sementara itu di Kenya terdapat penggulingan kekuasaan partai berkuasa dalam suksesi kursi kepresidenan, berita mengenai suksesi ini kemudian menggantikan berita serangan 11 September yang menjadi berita utama selama lima hari di Daily Nation.[3]
Nilai-nilai budaya juga ikut mempengaruhi tentang bagaimana kasus penyerangan ini diliput. Nilai-nilai budaya dan tradisi baik dalam masyarakat maupun dalam budaya kelas profesional seorang jurnalis juga berpengaruh dalam perbedaan intrepretasi dalam memperlihatkan sebuah realitas. Seperti yang dinyatakan Ellis (2000 : 221), “Pemberitaan yang terdapat pada suratkabar, radio dan televisi di Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis sepertinya memilih warna pemberitaan yang berbeda. Walaupun mereka meliput suatu kasus yang sama, mereka akan melakukan pendekatan dan pemberitaan yang berbeda tergantung terhadap apa yang mereka persepsikan tentang berita yang menarik perhatian dari audiens mereka masing-masing”. Lipset (1996) menyebutkan bahwa nilai-nilai budaya Amerika menekankan pada nilai individualisme, kebebasan, demokrasi dan kapitalisme yang kemudian media Amerika juga merefleksikan nilai-nilai tersebut. Sebaliknya nilai-nilai budaya tradisional Afrika menekankan budaya berkelompok, keselarasan, harmoni, dan keseimbangan yang, “membutuhkan individu yang menegosiasikan kebutuhan personalnya dalam kerangka kolektif”, (Borgault 1995 : 4-5).[4]
Jurnalisme Afrika memiliki kecenderungan untuk menggunakan judul headline yang dramatis, seperti “Bomb Terror”, “Terror Rocks U.S.”, “Unprecedented Kamikaze Plane Attacks Hit U.S.”. Untuk judul headline dalam kasus pengeboman di Afrika mereka menggunakan judul “Alive From Blast Tomb” menggambarkan kisah keajaiban korban yang selamat dari reruntuhan bangunan, judul-judul berita seperti ini sering digunakan oleh Daily Nation pada kedua kasus penyerangan baik di Afrika maupun di Amerika. Selain itu juga terdapat gaya penulisan yang muncul di suratkabar Afrika yang tidak akan ditampilkan pada New York Times. Gaya penulisan ini bisa disebut sebagai gaya penulisan jurnalisme Afrika “i was there” yang berlawanan dengan gaya penulisan jurnalisme Amerika “you were there”. Sebagai contoh setelah pengeboman Nairobi, suratkabar Daily Nation menampilkan artikel yang ditulis dalam sudut pandang pertama dengan judul “Tragedy Through the Eyes of an Editor” dan “We’re Both Alive for Declining Tea Offer”, penulisan sudut pandang pertama dari seorang reporter yang menolak tawaran minum teh dari Duta Besar Amerika Serikat yang menyelamatkannya dari ledakan besar yang terjadi beberapa saat kemudian.[5]
Faktor lain yang juga mempengaruhi bias media adalah konteks struktural politik, apabila posisi struktural suatu negara lebih kuat maka akan mempengaruhi cara pandang seorang jurnalis dalam penulisan berita. Dalam kasus ini konteks struktural yang terjadi adalah konteks struktural negara-negara Utara-Selatan. Amerika Serikat sebagai negara berperadaban Barat, negara demokrasi post-industrial dengan kekuatan militer paling besar di dunia merupakan aktor paling dominan dalam politik internasional saat ini. Posisi ini menjadikan media Amerika Serikat memiliki bias etnosentrik dan nasionalistik dalam pemberitaan kebijakan luar negerinya (Hallin 1986, Page and Shapiro 1992). Artinya media Amerika  cenderung mengutamakan isu-isu yang menjadi national interest dari Amerika Serikat. Sedangkan Kenya dan Tanzania seperti kebanyakan negara Afrika lainnya adalah anggota dari negara dunia ketiga. Negara ini masih dalam taraf negara ekonomi berkembang dan juga bukan merupakan aktor yang kuat dalam sistem internasional. Berdasarkan kenyataan akan kondisi sosial-politik ini, jurnalis dari negara-negara ini akan memiliki kecendrungan cara pandang untuk melihat dari posisi ini.[6]
Ada beberapa contoh mengenai ketegangan yang terjadi antara framing Amerika-sentris dan Afrika-sentris dalam kasus penyerangan di Afrika, terutama masalah “insensivitas” dan “arogansi” Amerika terhadap  orang-orang Afrika setelah peledakan Nairobi. Kritik terutama ditujukan kepada staf kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dalam penanganan krisis pasca pengeboman dimana terjadi perbedaan perlakuan terhadap korban warganegara Amerika Serikat dengan korban warganegara Kenya. Kemudian sikap tentara marinir Amerika yang mendahulukan warga Amerika Serikat, menahan orang-orang Kenya di pelabuhan dan juga menghambat proses penyelamatan yang ada. Kemudian tentara marinir ini memberikan argumen kepada duta besar Bushnell bahwa mereka berupaya untuk menjaga keamanan dan mencegah terjadinya kerusuhan. Sebaliknya respon cepat diberikan kepada korban yang berasal dari Amerika Serikat dan segera dimasukkan pada rumah sakit terbaik yang ada.
Analisa dan Kesimpulan
 Realitas yang ditampilkan dalam suatu pemberitaan bisa jadi bukan merupakan perwujudan absolut dari peristiwa sesungguhnya. Dikarenakan media tidak bisa melepaskan dirinya dari bias, framing dan intrepretasi yang sudah melekat dalam proses penulisan berita. Pada tulisan Todd Schaefer ini kita bisa melihat paling tidak media memiliki tiga penyebab munculnya bias pemberitaan : 1. Bias lokasi dan jarak pemberitaan, 2. Bias nilai dan persepsi budaya jurnalistik, 3. Bias struktural politik. Pemberitaan domestik tentu saja akan berbeda dengan pemberitaan luar negeri mengenai suatu kasus yang terjadi. Media umumnya akan mengambil pemberitaan yang dekat jaraknya dengan audiens sebagai prioritas utama dalam peliputan. Perspektif yang digunakan juga berbeda, media lokal akan cenderung untuk melihat kasus pengeboman secara lebih investigatif dan detail sedangkan media luar negeri akan menitikberatkan pada dampak pengeboman terhadap posisi politik dan kebijakan luar negeri negaranya, apakah akan berpengaruh signifikan atau tidak.
Persepsi budaya juga mempengaruhi cara pandang media atau jurnalis dalam melakukan suatu pemberitaan. Nilai-nilai dominan dalam suatu bangsa atau masyarakat tentu akan menjadi suatu norma sosial yang berpengaruh pada cara pandang jurnalistik yang dianut. Cara pandang ini kemudian akan berpengaruh pada perspektif pemberitaan yang diambil oleh suatu media. Faktor terakhir adalah konteks struktural politik antara negara maju-berkembang, utara-selatan, dunia pertama-dunia ketiga yang tentu saja akan memberikan dampak bagi perspektif yang diambil oleh media dari masing-masing negara. Media Amerika Serikat tentunya akan memiliki arogansi cara pandang sebagai negara adikuasa dan hegemonik sehingga melihat politik internasional dengan cara yang sangat egosentris. Jurnalisme di negara-negara dunia ketiga tentu akan menyadari posisinya sebagai negara berkembang yang tidak memiliki daya tawar kuat dalam sistem internasional dan cara pandang ini akan berpengaruh pada proses pemberitaan.
Dengan menelaah artikel ini kita dapat melihat bahwa realitas yang ditampilkan dalam pemberitaan oleh berbagai media harus dilihat lagi secara lebih kritis. Artinya media dalam menampilkan pemberitaan tentu saja tidak dapat dilepaskan dari bias, framing dan intrepretasi yang disesuaikan dengan kepentingan media itu sendiri. Metode perbandingan studi kasus antara beberapa media suratkabar dapat menjadi satu metode yang baik bagi seorang peneliti untuk mendapatkan suatu gambaran pemberitaan yang lebih objektif. Melalui metode ini maka kita dapat melakukan analisa terhadap bias dan framing yang dilakukan oleh beberapa suratkabar dan kemudian kita dapat menentukan nilai-nilai apa yang kemudian menjadi faktor dominan dalam pemberitaan. Perbandingan studi kasus ini memberikan peneliti gambaran yang lebih utuh mengenai realitas sesungguhnya dari peristiwa yang terjadi, selain itu peneliti dapat juga mendapatkan gambaran mendalam mengenai media berdasarkan nilai-nilai dan kepentingan dominan yang ada di dalamnya.
Referensi
Todd M. Schaefer, “Framing the US Embassy Bombings and September 11 Attacks in African and US Newspapers”, dalam (Editor) Pippa Norris, Montague Kern, and Marion Just, “Framing Terrorism : The News Media, The Government and The Public”, (London : Routledge, 2003)



[1] Todd M. Schaefer, “Framing the US Embassy Bombings and September 11 Attacks in African and US Newspapers”, dalam (Editor) Pippa Norris, Montague Kern, and Marion Just, “Framing Terrorism : The News Media, The Government and The Public”, (London : Routledge, 2003), hal 94
[2] Todd M. Schaefer, “Framing the US Embassy Bombings and September 11 Attacks in African and US Newspapers”, dalam (Editor) Pippa Norris, Montague Kern, and Marion Just, “Framing Terrorism : The News Media, The Government and The Public”, (London : Routledge, 2003), hal 95-96
[3] Todd M. Schaefer, “Framing the US Embassy Bombings and September 11 Attacks in African and US Newspapers”, dalam (Editor) Pippa Norris, Montague Kern, and Marion Just, “Framing Terrorism : The News Media, The Government and The Public”, (London : Routledge, 2003), hal 102
[4] Todd M. Schaefer, “Framing the US Embassy Bombings and September 11 Attacks in African and US Newspapers”, dalam (Editor) Pippa Norris, Montague Kern, and Marion Just, “Framing Terrorism : The News Media, The Government and The Public”, (London : Routledge, 2003), hal 96
[5] Todd M. Schaefer, “Framing the US Embassy Bombings and September 11 Attacks in African and US Newspapers”, dalam (Editor) Pippa Norris, Montague Kern, and Marion Just, “Framing Terrorism : The News Media, The Government and The Public”, (London : Routledge, 2003), hal 103
[6] Todd M. Schaefer, “Framing the US Embassy Bombings and September 11 Attacks in African and US Newspapers”, dalam (Editor) Pippa Norris, Montague Kern, and Marion Just, “Framing Terrorism : The News Media, The Government and The Public”, (London : Routledge, 2003), hal 96

Pin It on Pinterest

Shares
Share This