Adhe Nuansa Wibisono, S.IP
Kajian Terorisme FISIP UI
Jakarta, 2 April 2013
‘one person’s terrorist is another person’s freedom fighter’
Nasionalis-separatis terorisme atau freedom fighter?
Istilah ‘one person’s terrorist is another person’s freedom fighter’ menjadi titik awal kita dalam melihat dualisme cara pandang ini. Nasionalis-separatis teroris seringkali juga dianggap sebagai freedom fighter yang kemudian mengkaburkan makna dan perbedaan diantara keduanya. Oleh itu kita mulai pembahasan ini melalui definisi, menurut The Oxford English Dictionary menyebutkan bahwa freedom fighter sebagai ‘seseorang yang mengambil bagian dalam perjuangan revolusioner untuk mencapai tujuan politik, khususnya dalam menggulingkan pemerintahan’.[1]
Selanjutnya Macmillan Dictionary mendefinisikan freedom fighter sebagai, ‘seseorang yang melakukan perlawanan atas pemerintahan yang tidak adil dan kejam dengan melakukan perlawanan bersenjata, biasanya sebagian bagian dari kelompok yang terorganisir’.[2] Kemudian Merriem Webster Dictionary menjelaskannya sebagai, ‘seseorang yang mengambil bagian dalam gerakan perlawanan atas penindasan politik atau institusi sosial tertentu’.[3]
Sedangkan pengertian ethno-nasionalis-separatis terorisme adalah, ‘kelompok teror yang mencari pengakuan internasional dan kemerdekaan politik dalam bentuk-bentuk tertentu, kelompok ini termotivasi melalui faktor nasionalisme, etnisitas dan atau agama (Europol 2008 : 8).[4]Melalui penjelasan lainnya nasionalis terorisme adalah suatu bentuk terorisme yang dimotivasi oleh rasa nasionalisme dan kebangsaan. Nasionalis terorisme mencari kemerdekaan dalam bentuk-bentuk tertentu, yang diantaranya adalah menuntut otonomi politik yang lebih luas untuk membentuk suatu negara yang sepenuhnya berdaulat dan merdeka (separatisme).
Nasionalis teroris juga melawan apa yang mereka anggap sebagai pendudukan, penjajahan atau penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Nasionalis terorisme memiliki keterkaitan dengan bangsa, etnisitas, agama atau kelompok identitas lainnya, dan memiliki perasaan kolektif bahwa mereka ditindas dan dilanggar hak dasarnya, terutama hak-hak yang didapatkan kelompok mayoritas.[5]
Kesulitan lain yang muncul dalam membedakan antara freedom fighter dengan nasionalis terorisme adalah populernya istilah ‘one person’s terrorist is another person’s freedom fighter’. Meskipun, seperti yang dinyatakan Louise Richardson, kebanyakan dari teroris tidak melihat diri mereka sebagai teroris, tetapi agaknya mereka melihat diri mereka sendiri sebagai freedom fighter (Richardson, Louise : What Terrorist Want, 2006), dengan definisi demikian maka tidak mungkin untuk melabeli seseorang sebagai nasionalis teroris dan freedom fighter sekaligus.
Zagros Madjid-Sadjadi dan Danial Vencill telah menjelaskan hal ini dalam pernyataan berikut, “freedom fighter menggunakan cara-cara militer yang sah untuk menyerang target politik yang sah. Tindakan itu dapat dilegitimasi ketika mereka memiliki kemungkinan untuk memenangkan konflik, ini suatu kondisi yang dimana teroris sulit untuk mendapatkan legitimasi tersebut”.[6]
Menjadi penting untuk mencermati perbedaan antara perjuangan kemerdekaan yang memiliki legitimasi dan aksi terorisme yang tidak memiliki legitimasi. Yasser Arafat melalui pidatonya pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada November 1974, telah menekankan pentingnya suatu perbedaan keduanya dengan argumen, “perbedaan antara tindakan revolusioner dengan kebohongan teroris adalah alasan yang ada di balik setiap pertempuran. Bagi siapapun yang bertahan karena suatu alasan dan berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan akan tanah airnya, tidak dapat disebut sebagai teroris”.
Melalui penafsiran ini, pernyataan ‘one person’s terrorist is another person person’s freedom fighter’ juga menunjukkan perbedaan budaya sosial, politik dan keagamaan yang perlu dilihat ketika mendefinisikan terorisme. Rik Coolset menjelaskan di sini, “Serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh milisi Palestina akan dilihat sebagai aksi teror oleh Israel yang dimana aksi ini akan dianggap sebagai tindakan kepahlawanan di seantero negara-negara Arab”.[7]
Terorisme sebagai strategi politik
Penulis melihat adanya dua faksi dalam kelompok nasionalis-separatis yaitu faksi politik yang mengutamakan jalur negosiasi dan demokrasi politik, serta faksi radikal yang mengutamakan aksi-aksi militer dan tindakan terorisme. Dalam kasus di Kanada kita mendapati sebuah kelompok nasionalis-separatis Front de Liberation du Quebec (FLQ), yang secara mayoritas anggotanya sudah memilih sebuah negosiasi pemisahan diri dari Kanada, tetapi munculnya sebuah faksi radikal yang tidak sabar dalam menunggu jalannya proses negosiasi tersebut kemudian melakukan tindakan terorisme untuk mempercepat proses tersebut. Antara tahun 1961 dan 1970, FLQ melakukan tindakan pengeboman secara sporadis yang menargetkan fasilitas militer dan pemerintahan federal. FLQ juga melakukan pengeboman di Montreal dan juga mengirim bom surat kepada sejumlah perusahaan-perusahaan milik Inggris.[8]
Kemudian kita melihat kasus perjuangan kemerdekaan etnis Basque di Spanyol yang membentuk Basque Nationalist Party, yang ditujukan sebagai saluran politik formal dalam menyuarakan aspirasi etnis Basque terutama dalam isu kemerdekaan politik. Sekelompok anak muda radikal dari Basque Nationalist Party yang tidak puas dengan perkembangan yang ada kemudian membentuk organisasi radikal Basque Homelanda and Liberty (Euskadi Ta Askatasuna, ETA) pada 1958, yang kemudian melakukan berbagai tindakan terorisme dalam mencapai tujuan politiknya.[9]
Alasan logis yang muncul dalam penggunaan tindakan terorisme sebagai satu strategi perjuangan adalah munculnya eksistensi dari identitas yang terpisah, identitas ini bisa didasari oleh agama, bahasa, etnisitas atau perpaduan dari semua faktor tersebut. Jika suatu kelompok sosial merasa mendapatkan tekanan dan penindasan oleh negara yang didominasi oleh kelompok agama atau etnis yang berbeda, maka motivasi untuk melakukan tindakan terorisme kemungkinan akan muncul.[10]
Diskriminasi dan ketidaksetaraan terkait dengan pemisahan etnis, budaya, sosial dan pendidikan, hal-hal ini kemudian menjadi sumber ketegangan dan permusuhan yang dapat memicu pada tindak kekerasan, “adanya tuntutan akan memori kolektif untuk mendapatkan kembali hal-hak sosial, budaya, ekonomi dan politik dengan melakukan penolakan pada subordinasi dan asimilasi budaya”. Perasaan tidak puas pada saluran politik yang tersedia, dapat memicu kelompok ini pada tindakan terorisme yang bertujuan pada penguatan identitas kelompok mereka melalui akuisisi kenegaraan atau kemerdekaan politik. Nasionalis-separatis teroris umumnya percaya bahwa terorisme adalah cara yang efektif untuk melawan kelompok etnik dominan dan untuk mencapai kemerdekaan politik yang diinginkan.[11]
Dalam menentukan keberhasilan penggunaan strategi teror penulis tidak melihatnya hanya dalam hasil akhir yaitu ketika kelompok nasionalis separatis mampu mewujudkan kemerdekaan politik atau berdiri sebagai negara terpisah, tetapi juga dapat dilihat dari bagaimana kelompok nasionalis separatis ini kemudian dapat melakukan negosiasi dengan pemerintah dengan pendekatan strategi teror. Keberhasilan spektakuler dari kelompok nasionalis-separatis ETA dapat dilihat pada kasus pembunuhan politik Laksmana Luis Carrero Blanco, Perdana Menteri Spanyol dan pewaris rezim militer Fransisco Franco, pada tahun 1973.
Beberapa analisa mengatakan bahwa dengan pembunuhan terhadap Blanco ini, ETA secara efektif kemudian menjatuhkan rezim militer yang diwariskan Franco. Ketika Jenderal Fransisco Franco meninggal pada tahun 1976, tidak ada satu orang pun yang mampu menggantikan rezim militer yang dia bangun. Ketiadaan suksesor rezim militer kemudian menjadikan rakyat Spanyol untuk melangsungkan pemilu yang demokratis, yang kemudian mengizinkan wilayah Basque untuk membentuk badan parlemennya sendiri dan mengendalikan sistem pendidikannya secara mandiri, dan kemudian menjamin bahwa bahasa Basque juga akan diajarkan di sekolah-sekolah negeri yang dibiayai pemerintah.[12]
Contoh lain adalah tindakan terorisme yang dilakukan oleh Stern Gang, kelompok teror Yahudi, yang melakukan pembunuhan politik atas Count Folke Bernadotte, mediator perdamaian PBB dari Swedia, karena memperbolehkan pengungsi Arab Palestina untuk kembali ke tanah airnya sebagai bagian dari perjanjian damai (Cooley 2000 : 11). Kelompok Yahudi menganggap bahwa pemerintah kolonial Inggris lebih mengutamakan kepentingan Arab Palestina dan merugikan kepentingan mereka.
Aksi terorisme yang dilancarkan kelompok Yahudi akhirnya memaksa Inggris untuk menarik diri dari daerah Palestina karena kerugian yang dialami lebih besar daripada keuntungan yang didapatkan pemerintahan kolonial. Mundurnya Inggris dari Palestina kemudian memicu peperangan antara kelompok Arab dan Yahudi yang kemudian berakhir dengan terbentuknya negara Israel. Aksi terorisme terhadap Inggris terbilang sukses dalam rangka untuk memaksa mereka mundur dari medan pertempuran yang menguntungkan bagi kelompok Yahudi.[13]
Doktrin keagamaan : sumber kekerasan?
Globalisasi dan kondisi dunia yang terus berubah telah menumbuhkan tekanan terhadap kelompok-kelompok identitas dan kemudian memicu ketergantungan yang besar terhadap agama untuk menyediakan dukungan mental dan psikologis dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Ekstremitas keagamaan dapat menjadi respon terhadap tekanan dan perubahan yang datang dengan adanya gelombang modernisasi dan globalisasi yang lebih besar (Fox 1998 : 51-52). Politisasi agama dapat dilihat sebagai respon dari modernitas (Sandler 1997 : 134). Komitmen yang lebih kuat terhadap nilai-nilai keagamaan merupakan salah satu cara untuk menghadapi ancaman dan bahaya yang datang melalui perubahan. Kemudian kekerasan menjadi metode yang dapat digunakan untuk menghadapi kekuatan yang dianggap sebagai penyebab dari perubahan yang tidak diinginkan ini.[14]
Doktrin keagamaan memiliki peranan penting dalam keputusan individu, agama menyediakan janji akan balasan kebaikan di akhirat bagi pengorbanan setiap individu dalam melindungi komunitas keagamaannya.[15]Dalam konflik keagamaan, kita dapat melihat jika agama menyediakan hal-hal yang tidak diberikan oleh identitas lainnya : kebaikan Tuhan, keberkahan dan jalan keselamatan. Kebutuhan akan tindak kekerasan umumnya dibangun dalam struktur komitmen keagaaman yang ketat. Tindakan penebusan diri dalam Kristen, rasa balas dendam dalam Yudaisme, dan tindakan pembelaan diri dalam Islam semuanya memenuhi tindak kekerasan untuk memenuhi bayangan akan agama di dunia. Dalam kasus ini kita bisa melihat tindak kekerasan dilakukan untuk memenuhi komitmen spiritualitas yang akhirnya memicu kekerasan berdasarkan agama.[16]
Doktrin-doktrin kekerasan seperti ini tidak hanya menjadi permasalahan keagamaan, tetapi ini juga terdapat pada setiap ideologi, baik radikal kiri, sekular nasionalis dan keagamaan transnasional, juga memberikan respon yang kurang lebih serupa. Dalam pengertian yang sedang dibahas sekarang, agama kemudian menjadi ideologi perlawanan. Perwajahan agama dapat dilihat sebagai perlawanan terhadap apa yang dibayangkan sebagai musuh budaya tradisional dan identitas : sistem sekular global dan negara-bangsa sekular yang mendukungnya.[17]
Masalah sistem sekular ini kemudian diwujudkan dalam perlawanan ideologi keagamaan, rasa teralienasi, termarjinalisasi dan keputusasaan sosial umumnya diartikulasikan melalui istilah keagamaan dan dilihat melalui pandangan keagamaan, dan sikap protes ini diorganisir oleh pemimpin keagamaan melalui institusi-institusi keagamaan.[18] Doktrin keagamaan radikal cenderung membawa kepada konflik dibandingkan sekedar pertukaran simbol ataupun legitimasi ketuhanan, hal ini semakin memperumit konflik melalui ikatannya yang absolut, justifikasi yang diberikan agama atas tindak kekerasan dan penggambaran puncaknya mengenai peperangan yang melakukan demonisasi terhadap lawan dan mengaitkan konflik dengan perang-perang keagamaan di masa lalu.[19]
Kekerasan yang dilegitimasi
Jika kita melihat kasus yang terjadi pada wilayah-wilayah muslim yang mengalami penjajahan oleh kekuatan-kekuatan non-muslim, maka tindakan-tindakan penyerangan yang dilakukan oleh individu atau kelompok memiliki tujuan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajah asing. Untuk beberapa kasus, strategi ini dianggap berhasil dalam menekan pemerintah kolonial agar kelompok minoritas muslim mendapatkan perlakuan yang lebih baik (Dale 1998). Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, dalam perjuangannya melawan penjajahan Israel telah menemukan bahwa strategi bom bunuh diri menjadi senjata yang sangat efektif mengingat sumberdaya yang tersedia dalam organisasi sangat terbatas (Dolnik and Bhattacharjee 2002). Para pemimpin keagaamaan muslim berargumen bahwa tindakan penyerangan melalui strategi bom bunuh diri dibenarkan dikarenakan musuh yang dijadikan sasaran adalah para penjajah asing yang melakukan penindasan (Malka 2003 : 22).[20]
Selain itu kita juga bisa melihat contoh kekerasan lain melalui kasus yang berkembang dalam kelompok Kristen radikal di Amerika Serikat. Beberapa kelompok ini kemudian menggunakan teror dan kekerasan dalam perlawanannya terhadap masyarakat sekular dan juga penentangannya terhadap globalisasi budaya dan ekonomi. Terjadinya aksi pengeboman terhadap klinik aborsi dan juga aksi penembakan terhadap perawat klinik aborsi oleh jaringan Lutheran dan Presbyterian radikal yang terjadi di Maryland dan Florida, Amerika Serikat. Selain itu kita juga mencermati terdapatnya kasus penyerangan lain yang dimotivasi oleh supremasi Kristen-kulit putih sebagai motivasi yang melatarbelakangi serangan yang dilakukan oleh Eric Robert Rudolph di Atlanta Olympic Park pada Olimpiade Atlanta 1996, beberapa pengeboman klub-klub homoseks dan klinik-kilinik aborsi.[21]
Strategi menggunakan aksi kekerasan kemudian dianggap sebagai cara yang efektif untuk menunjukkan perlawanan terhadap musuh dan kemudian juga digunakan sebagai cara untuk membangun daya tawar terhadap musuh. Tindakan kekerasan ini kemudian mendapatkan legitimasinya ketika para pemimpin agama memberikan justfikasi terhadap kekerasan yang kemudian semakin meningkatkan motivasi para pelakunya bahwa tindakan kekerasan ini adalah suatu bentuk perlawanan suci. Dengan demikian kita dapat melihat suatu hubungan antara legitimasi agama dengan tindakan kekerasan sebagai satu cara yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan politik dari kelompok keagamaan.
Referensi :
Juergensmeyer, Mark, ‘Religion as a Cause of Terrorism’, dalam Louise Richardson (ed), ‘The Roots of Terrorism’, (Routledge : Newyork, 2006)
Lefebvre, Stephane, ‘Perspectives On Ethno-Nationalist/Separatist Terrorism’, Conflict Studies Research Center, (Surrey : Defence Academy of the United Kingdom, May 2003)
Lutz, James M., Brenda J. Lutz, ‘Ethnic and National Bases Of Terrorism’ dalam ‘Global Terrorism’, (Routledge : London, 2004)
Taylor, Robert, ‘Separatist Terrorism’ dalam ‘The History Of Terrorism’, (Lucent Terrorism Library, 2002)
Internet :
European Comission Security Paper, ‘Concepts of Terrorism : Analysis of the Rise, Decline, Trends and Risk’, http://www.transnationalterrorism.eu, diakses pada 1 April 2013
Oxford Dictionaries Online, http://oxforddictionaries.com/definition/english/freedom fighter , diakses pada 1 April 2013
Macmillan Dictionary Online, http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/freedom-fighter, diakses pada 1 April 2013
Mareike Oldemeinen, ‘One Person’s Terrorist, Another Person’s Freedom Fighter?’, http://www.e-ir.info/2010/01/13/one-person’ s-terrorist-another-person’ s-freedom-fighter/, diakses pada 1 April 2013
Merriam Webster Online, http://www.merriam-webster.com/dictionary/freedom fighter , diakses pada 1 April 2013
Wikipedia Online, http://en.wikipedia.org/wiki/Nationalist_terrorism, diakses pada 1 April 2013
[1] Oxford Dictionaries Online, http://oxforddictionaries.com/definition/english/freedom fighter , diakses pada 1 April 2013
[2] Macmillan Dictionary Online, http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/freedom-fighter, diakses pada 1 April 2013
[3] Merriam Webster Online, http://www.merriam-webster.com/dictionary/freedom fighter , diakses pada 1 April 2013
[4] European Comission Security Paper, ‘Concepts of Terrorism : Analysis of the Rise, Decline, Trends and Risk’, http://www.transnationalterrorism.eu, diakses pada 1 April 2013, Hal 107
[5] Wikipedia Online, http://en.wikipedia.org/wiki/Nationalist_terrorism, diakses pada 1 April 2013
[6] Mareike Oldemeinen, ‘One Person’s Terrorist, Another Person’s Freedom Fighter?’, http://www.e-ir.info/2010/01/13/one-person’ s-terrorist-another-person’ s-freedom-fighter/ , diakses pada 1 April 2013
[7] Mareike Oldemeinen, ‘One Person’s Terrorist, Another Person’s Freedom Fighter?’, http://www.e-ir.info/2010/01/13/one-person’ s-terrorist-another-person’ s-freedom-fighter/ , diakses pada 1 April 2013
[8] Robert Taylor, ‘Separatist Terrorism’ dalam ‘The History Of Terrorism’, (Lucent Terrorism Library, 2002), hal 61
[9] Robert Taylor, ‘Separatist Terrorism’ dalam ‘The History Of Terrorism’, (Lucent Terrorism Library, 2002), hal 66
[10] European Comission Security Paper, ‘Concepts of Terrorism : Analysis of the Rise, Decline, Trends and Risk’, http://www.transnationalterrorism.eu, diakses pada 1 April 2013, Hal 107
[11] Stephane Lefebvre, ‘Perspectives On Ethno-Nationalist/Separatist Terrorism’, Conflict Studies Research Center, (Surrey : Defence Academy of the United Kingdom, May 2003), hal 3
[12] Robert Taylor, ‘Separatist Terrorism’ dalam ‘The History Of Terrorism’, (Lucent Terrorism Library, 2002), hal 66
[13] James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, ‘Ethnic and National Bases Of Terrorism’ dalam ‘Global Terrorism’, (Routledge : London, 2004), Hal 91
[14] James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, ‘Religious Justifications For Terrorism’, dalam ‘Global Terrorism’, (Routledge : London, 2004), hal 71
[15] James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, ‘Religious Justifications For Terrorism’, dalam ‘Global Terrorism’, (Routledge : London, 2004), hal 67
[16] Mark Juergensmeyer, ‘Religion as a Cause of Terrorism’, dalam Louise Richardson (ed), ‘The Roots of Terrorism’, (Routledge : Newyork, 2006), Hal 134
[17] Mark Juergensmeyer, ‘Religion as a Cause of Terrorism’, dalam Louise Richardson (ed), ‘The Roots of Terrorism’, (Routledge : Newyork, 2006), Hal 140
[18] Mark Juergensmeyer, ‘Religion as a Cause of Terrorism’, dalam Louise Richardson (ed), ‘The Roots of Terrorism’, (Routledge : Newyork, 2006), Hal 141
[19] Mark Juergensmeyer, ‘Religion as a Cause of Terrorism’, dalam Louise Richardson (ed), ‘The Roots of Terrorism’, (Routledge : Newyork, 2006), Hal 143
[20] James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, ‘Religious Justifications For Terrorism’, dalam ‘Global Terrorism’, (Routledge : London, 2004), hal 69
[21] Mark Juergensmeyer, ‘Religion as a Cause of Terrorism’, dalam Louise Richardson (ed), ‘The Roots of Terrorism’, (Routledge : Newyork, 2006), Hal 136
Recent Comments